Pukat UGM: Hinaan Publik ke Juliari Harusnya Jadi Pemberat Hukuman
- ANTARA FOTO
VIVA – Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM (Pukat UGM) mempertanyakan alasan majelis hakim meringankan pidana mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, lantaran selama ini mendapatkan hinaan dan cacian dari masyarakat. Meskipun perkaranya belum berkekuatan hukum tetap alias inkracht.
Menurut peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman, keputusan majelis tidak tepat. Terang Zaenur, kondisi meringankan seharusnya berasal dari internal terdakwa, seperti misalnya terdakwa menyebut dirinya sebagai tulang punggung keluarga.
"Menurut saya ini bukan keadaan hal yang meringankan ya. Keadaan yang meringankan itu adalah berasal dari internal terdakwa sendiri, yang maupun kondisi yang memaksa yang bersangkutan melakukan tindakannya. Biasanya kondisi yang meringankan seperti itu," kata Zaenur, Selasa, 24 Agustus 2021.
"Misalnya keadaan meringankan terdakwa merupakan tulang punggung keluarga. Kalau terdakwa dijatuhi hukuman tinggi akan mengakibatkan kewajiban urus keluarga terhambat. Jadi kondisi meringankan itu berasal dari dalam terdakwa, atau kalau dari luar yang berhubungan langsung dengan terdakwa," kata Zaenur menambahkan.
Sedangkan, dicaci maki atau dicerca masyarakat, menurut Zaenur, bukan termasuk keadaan yang meringankan. Perundungan yang diterima Juliari, merupakan konsekuensi dari perbuatan korupsi yang dianggap sangat jahat oleh masyarakat. Karena praktik rasuah dilakukan saat pandemi COVID-19, saat masyarakat mengalami kesusahan.
"Karena korupsi yang dilakukan adalah korupsi bansos pandemi COVID, dan dilakukan saat pandemi COVID masih tinggi di Indonesia. Jadi saya enggak setuju dihina masyarakat sebagai hal yang meringankan. Yang lebih cocok kalau misal terdakwa tulang punggung, atau berkelakuan baik selama persidangan. Itu saya masih setuju. Tapi dihina masyarakat tak seharusnya jadi alasan hakim," jelasnya.
Lebih lanjut, dia memandang vonis hakim terhadap Juliari mengecewakan. Hakim terkesan bermain aman dan enggan memberikan hukuman maksimal.
"Hakim tidak menggunakan kesempatan yang diberikan Pasal 12b UU Tipikor, bisa seumur hidup atau setinggi-tingginya 20 tahun penjara," kata Zaenur.
Dalam putusan Juliari, majelis hakim vonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Juliari kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp14.597.450.000 subsider 2 tahun penjara dan dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.