Belajar dari Kasus Pinangki, Kejaksaan Diminta Berbenah

Gedung Kejaksaan Agung.
Sumber :
  • VIVAnews/Maryadi

VIVA – Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin harus berbenah dalam memberikan pelayanan masyarakat yang mencari keadilan. Sebab, hasil survei KedaiKopi sebanyak 59,5 persen menunjukkan masih terjadi disparitas (ketimpangan perlakuan) penegakan hukum oleh Kejaksaan.

Buru Tahanan Kabur, Rutan Salemba Koordinasi dengan Polda Aceh dan Jabar

Apalagi, dalam penanganan kasus korupsi yang menyeret mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Sebanyak 71,7 persen warga menganggap terjadi disparitas dalam kasus Pinangki, terpidana kasus korupsi dari pengusaha Djoko Tjandra hanya dihukum 4 tahun penjara.

Sebanyak 71,2 persen publik menganggap tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Pinangki terlalu ringan; 61,6 persen tidak setuju terhadap absennya proses kasasi dari JPU, dan 65,6 persen melihat ada perlakuan tidak adil dari Kejaksaan dalam kasus Pinangki. Karena, Kejaksaan dianggap melindungi anggotanya.

Ibu Ronald Tannur Langsung Diperiksa Usai Penahanan Dipindah ke Kejagung

“Tentang adanya disparitas dalam penegakan hukum yang berbeda, harusnya jadi cerminan Kejaksaaan melakukan perbaikan pelayanan publik. Di samping, menjadi dasar untuk menindak pejabat Kejaksaan yang memang sengaja melakukan perbuatan pilih kasih tersebut,” kata Fickar saat dihubungi wartawan pada Minggu, 15 Agustus 2021.

Menurut dia, perlakuan terhadap penjahat atau kriminal dari kalangan sendiri seperti Jaksa Pinangki harusnya mendapatkan hukuman yang berat. Karena di samping sudah melakukan kejahatan, status Pinangki sebagai penegak hukum saat itu telah menghancurkan nama baik institusi Korps Adhyaksa.

Penahanan Ibu Ronald Tannur Resmi Dipindah ke Kejagung

“Serta merusak profesi jaksa yang terkenal kaya raya dengan hobi foya-foya, sungguh sama sekali tidak mencerminkan abdi masyarakat yang baik," ujarnya.

Selain itu, Fickar mengatakan Jaksa Agung juga harus jadikan prioritas utama terkait reformasi birokrasi di Kejaksaan. Salah satunya, Kejaksaan harus dibersihkan dari oknum-oknum yang mewariskan sistem korup. Sehingga, kewenangan Kejaksaan bisa digunakan sebagai alat memberantas korupsi melalui tuntutan-tuntutan di pengadilan.

Di samping itu, Fickar juga menyoroti soal adanya dugaan penyitaan aset yang tak berkaitan dengan suatu perkara termasuk kasus dugaan korupsi pengelolaan dana investasi PT Jiwasraya dan PT Asabri. Menurut dia, aset yang tidak ada kaitan dalam perkara tidak boleh disita. Sebab, penyitaan itu sebatas pada aset pribadi yang terkait kejahatan.

"Apalagi aset korporasi yang berkaitan dengan masyarakat, itu tak bisa disita secara serampangan. Kejaksaan tidak boleh bermain api, karena bisa timbul kesan dalam menangani korupsi ini Kejaksaan juga melakukan korupsi, atau biasa disebut dengan double crime atau kejahatan ganda," jelas dia.

Diketahui, survei ini dilakukan kepada 1.047 responden di 34 Provinsi Indonesia pada 22 sampai 30 Juli 2021 dengan cara daring terkait ‘Survei Kata Publik tentang Kinerja Kejaksaan'.

Jumlah responden proporsional berdasarkan besaran populasi di setiap provinsi dengan sampel cenderung lebih besar laki-laki (55,2 persen) daripada perempuan (44,8 persen), sebagian besar adalah generasi milenial dengan usia 25-40 tahun (45,5 persen) disusul oleh generasi Z dengan usia 17-24 tahun (31,8 persen) sebagai pengguna internet terbesar di Indonesia.

Adapun tingkat pendidikan sampel survei ini relatif lebih tinggi daripada rata-rata tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada umumnya, yaitu 40,8 persen lulusan S1 atau D4 dan 41,5 persen adalah lulusan SLTA atau sederajat.

Baca juga: Survei KedaiKOPI: 65 % Warga Lihat Kejaksaan Tak Adil Tangani Pinangki

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya