Pastikan Obat Terapi COVID Tak Langka, Pemerintah Diminta Lakukan Ini

Paket obat dan vitamin untuk pasien Isoman COVID-19
Sumber :
  • VIVA/Andrew Tito

VIVA – Pusat Studi Kebijakan Kesehatan dan Kesejahteraan Rakyat (Puskesra) meminta Pemerintah mengawasi secara ketat produksi dan distribusi obat-obatan penanganan COVID-19. Sebab, berpotensi terjadinya monopoli harga serta kelangkaan di lapangan, karena permintaan sedang tinggi. 

PBNU Bentuk PT BUMN Buat Kelola Tambang dari Pemerintah

Direktur Eksekutif Puskesra, Rafles Hasiholan mengingatkan, Pemerintah juga harus memastikan adanya distribusi yang merata terhadap produksi obat-obatan untuk pasien COVID-19. Jika perlu, tidak saja melibatkan perusahaan-perusahaan farmasi besar, melainkan memberikan peranan kepada perusahaan farmasi skala menengah ke bawah.

Beberapa waktu lalu lanjutnya, publik dihebohkan dengan video Presiden Joko Widodo yang melakukan sidak ke apotek kecil untuk mengecek persediaan obat-obatan untuk pasien COVID-19. Saat itu Presiden tidak menemukan satupun obat dan hanya ada beberapa multivitamin.

Deretan Fakta Virus HMPV yang Merebak di China, Akankah Jadi Pandemi Seperti Covid-19?

"Ini menjadi bukti nyata bahwa obat-obatan untuk pasien COVID-19 belum terdistribusi merata," kata Rafles dikutip dari keterangannya, Selasa, 10 Agustus 2021.

Baca juga: Jokowi Waspadai Kondisi Ekonomi Triwulan III-2021: Lebih Berat

Panja DPR dan Pemerintah Sepakati Biaya Haji 2025 Rp55,4 Juta Per Jemaah

Setelah peristiwa itu lanjutnya, Jokowi kemudian menanyakan kepada menteri kesehatan kenapa obat-obatan penanganan COVID-19 tidak ada di apotek-apotek kecil tersebut. Jawaban yang diterima adalah COVID-19 dapat ditemukan di apotek-apotek tertentu milik BUMN dan perusahaan farmasi besar.

"Situasi yang dialami langsung oleh Presiden Jokowi menunjukkan gambaran nyata distribusi obat-obatan penanganan COVID-19 yang belum merata dan sepertinya dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan besar saja. Padahal rakyat seharusnya dipermudah untuk dapat mengakses obat COVID-19," tegas Rafles.

Berdasarkan informasi yang Puskesra, beberapa obat yang diproduksi oleh perusahaan farmasi besar ini harganya dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) di pasaran. Selain itu terdapat juga obat yang disegel dan dilarang produksi oleh pihak BPOM.

"Kami mendapatkan informasi bahwa obat Ivermectin yang menjadi optional use dalam pengobatan COVID-19, saat ini peredarannya sudah sangat langka karena BPOM telah empat minggu menyegel dan melarang produksi obat tersebut. Dengan alasan adanya administrasi dan prosedur yang belum lengkap dari perusahaan terkait," kata Rafles.

Merespons langkah tersebut, Puskesra pun mempertanyakan lamanya proses administrasi yang dilakukan oleh BPOM. Padahal situasi saat ini, penyebaran COVID-19 masih tinggi dan masyarakat sangat membutuhkan berbagai jenis obat-obatan itu.

"Bagaimana masyarakat dapat sembuh dari COVID-19 jika peredaran obat-obatan hanya dimonopoli perusahaan farmasi besar. Dan institusi Pemerintah seperti BPOM justru menghambat produksi obat-obatan untuk pasien COVID-19 seperti Ivermectin karena hal-hal administrasi," lanjutnya.

Puskesra meminta Pemerintah melalui Kemenkes, BPOM, dan institusi lainnya untuk memperkuat industri farmasi dan obat-obatan dalam negeri di masa pandemi COVID-19. Salah satu yang bisa dilakukan dengan melibatkan swasta sebagai bentuk gotong royong yang dilakukan.

"Mustahil COVID-19 cepat reda kalau pemerintah hanya bergerak sendiri. Presiden Jokowi harus menyampaikan kepada jajaran kementerian dan lembaga untuk menindak tegas kelompok atau korporasi tertentu yang terindikasi melakukan monopoli obat-obatan terapi COVID-19," tegasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya