Dua Terdakwa Korupsi Penjualan Lahan ke PLN di Maluku Divonis Bebas

Dua terdakwa kasus penjualan lahan untuk pembangunan PLTMG 10 MW oleh PLN dinyatakan tidak terbukti bersalah atas dakwaan JPU sehingga dibebaskan dari segala tuntutan, dalam sidang di Pengadilan Negeri Ambon, Jumat, 6 Agustus 2021.
Sumber :
  • ANTARA/Daniel Leonard

VIVA – Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Ambon menjatuhkan vonis bebas terhadap Fery Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa, dua terdakwa kasus penjualan lahan kepada PT PLN untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) 10 MW di Namlea, Kabupaten Buru, Maluku, senilai Rp6,4 miliar.

Curahan Hati Tom Lembong Usai Praperadilannya Ditolak Hakim

"Memutuskan terdakwa Fery Tanaya dan Abdul Gafur dibebaskan dari semua dakwaan primer maupun subsider dan memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan, memulihkan hak dan martabat para terdakwa, serta membebankan biaya perkara kepada negara," kata Ketua Majelis Hakim Pasti Tarigan didampingi Ronny Felix Wuisan dan Hakim Adhoc Jefta Sinaga di Ambon, Jumat, 6 Agustus 2021.

Dalam amar putusannya, majelis hakim menyatakan unsur melawan hukum yang didakwakan JPU tidak terbukti dan proses jual beli lahan sah serta tidak adanya unsur kerugian keuangan negara dalam perkara itu.

Dugaan Kerugian Negara di Kasus PT Timah Diproses Hukum, Ahli Hukum Beri Sorotan Tajam

Terdakwa Fery Tanaya membeli lahan itu pada 7 Agustus 1985 dari keluarga waris Serhelawan yang, menurut JPU, objek itu merupakan tanah erfpacht atau hak barat dan sudah menguasainya selama 31 tahun.

Kemudian sebelum dilakukan pembayaran atau ganti rugi lahan, PLN telah menyurati BPN untuk melakukan pengukuran lahan dan nilai pembeliannya sebesar Rp6,4 miliar sesuai bukti akta jual-beli serta surat kepemilikan lahan berdasarkan keterangan sejumlah saksi dalam persidangan di antaranya Husein Wamnebo serta Talim Wamnebo.

DPR Wanti-wanti KPK Jangan Jadi Alat Politik Pilkada Menyusul Penangkapan Gubernur Bengkulu

"Soal status tanah hak barat, mereka tidak mengetahuinya dan baru dipahami setelah jaksa melakukan proses hukum dalam perkara ini," kata majelis hakim dalam persidangan yang berlangsung secara virtual.

Pertimbangan lain dari majelis hakim dalam amar putusannya adalah terdakwa bukan mencari keuntungan semata dari penjualan lahan dimaksud karena PLN ingin membelinya untuk proyek strategis nasional yang membawa manfaat bagi kepentingan umum.

Atas putusan itu, terdakwa Fery Tanaya melalui penasihat hukumnya Henry Yosodiningrat maupun tim pengacara terdakwa Abdul Gafur menyatakan menerima, sementara JPU Achmad Atamimi diberikan kesempatan tujuh hari untuk menyampaikan sikap.

Tim JPU Kejati Maluku sebelumnya meminta majelis hakim menghukum terdakwa Fery Tanaya selama 10,5 tahun penjara, denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan, dan membayar uang pengganti sebesar Rp6,081 miliar sehingga akumulasi ancaman hukuman lebih dari 13 tahun.

Sedangkan untuk terdakwa Abdul Gafur 8,5 tahun penjara, denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan, serta membayar uang pengganti atas kerugian negara yang diberikan PT PLN kepada terdakwa sebesar Rp9,7 Juta subsider tiga bulan kurungan.

PLN Unit Induk Pembangunan Maluku pada 2016 melakukan proses pengadaan tanah bagi pembangunan PLTMG berlokasi di Dusun Jiku Besar, Desa Namlea, Kabupaten Buru, Maluku.

Untuk kepentingan itu PLN UIP Maluku melayangkan surat kepada pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kepala kantor BPN Buru, John George Sen (Alm) secara lisan memerintahkan Abdul Gafur Laitupa selaku Kepala Seksi Pengukuran di BPN Buru melakukan pengukuran lahan, yaitu tanah seluas 48.000 meter persegi. Namun Abdul Gafur Laitupa membuat peta lokasi nomor 02208 tertanggal 16 Juni 2016. Namun, peta lokasi itu tidak sesuai data sebenarnya.

Peta lokasi mencantumkan nomor induk bidang tersebut, tetapi berdasarkan komputerisasi ternyata lokasi itu milik Abdul Rasyid Tuanani seluas 645 meter persegi.

Sementara tanah ini dikuasai oleh negara karena lokasinya merupakan bagian dari tanah erfpacht dan pemegang haknya atas nama Zadrak Wakano (Alm).

Padahal ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, tanah erfpracht tidak bisa dipindah-tangankan baik kepada ahli waris maupun kepada pihak lain selaku pembeli.

Ketika pemegang hak erfpracht meninggal dunia, kepemilikan atas tanah itu tidak bisa dikuasai oleh ahli waris dan berstatus menjadi tanah negara. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya