Kritik Atas Baliho Politik Disebut Sikap Nyinyir Tak Berujung

Baliho Puan Maharani bertebaran di wilayah Jawa Timur.
Sumber :
  • VIVAnews/Nur Faishal (Surabaya)

VIVA - Direktur Eksekutif The Cyrus Network Hasan Nasbi menyoroti kritik yang beredar luas di media sosial soal dana pemasangan baliho tokoh publik yang lebih baik digunakan untuk bantu masyarakat terdampak pandemi.

Deretan Fakta-fakta Penangkapan Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, Penuh Drama

“Ini kan kata-kata yang seolah-olah punya pendirian moral tapi pendirian moral ini sulit untuk dipertanggungjawabkan,” kata Hasan Nasbi dikutip dari Youtube pada Rabu, 4 Agustus 2021.

Hasan menganalogikan pemasangan baliho dengan kebutuhan seseorang terhadap pakaian baru dan sepeda di saat pandemi.

Wajib Pajak Kritik Coretax yang Bermasalah, DJP: Mohon Maaf, Kami Berupaya Memperbaiki

“Misalnya kalau kamu butuh baju baru kamu beli baju gak? Atau kalau lagi gak butuh tapi pengen beli baju baru, tetep beli kan. Terus kalau ada orang yang tiba-tiba nyinyir kenapa harus beli baju baru sih di antara banyak orang kelaparan? Kenapa gak uang untuk beli baju baru kamu disumbangkan kepada orang yang membutuhkan? Atau kenapa kamu beli sepeda di zaman pandemi?” kata Hasan.

“Kalau kita ikuti pendirian-pendirian kayak gini, akhirnya kita akan sampai pada nyinyir tak berujung,” kata Hasan lagi.

Pesan Dharma Pongrekun ke Pramono-Rano: Jangan Ada Pandemi Lagi di Jakarta

Baca juga: Pengamat: Mbak Puan Ancaman bagi Calon Presiden Lainnya pada 2024

Hasan mengatakan, kehidupan di luar penanganan pandemi harus terus berjalan, termasuk kehidupan politik. Oleh karenanya, waktu pemasangan baliho politik saat pandemi tidak ada ukurannya untuk dikatakan tepat atau tidak tepat.

“Menurut saya karena teorinya waktu yang tepat untuk masang baliho, masang spanduk, bisa kemarin, bisa hari ini, bisa besok, bisa bulan depan. Jadinya waktunya tergantung mereka mau mulainya kapan. Kan bisa saja pasang media luar ruang saat Lebaran, ucapkan selamat Lebaran. Nanti dikritik lagi kok masa pandemi pasang spanduk ucapan selamat Lebaran?” katanya.

Dia menilai pemasangan baliho politik ini tidak ada hubungannya dengan empati saat pandemi.

“Kan bukan berarti orang yang pasang baliho kemudian tidak melakukan tindakan-tindakan bentuk kemasyarakatan. Dia pasang billboard, tapi dia juga menyumbang ke masyarakat, dia juga buat kebijakan yang membantu masyarakat. Dua-duanya bisa berjalan sekaligus,” kata Hasan.

Menurut dia, yang perlu dikritik dari pemasangan-pemasangan baliho politik ini cuma dua yakni apakah pemasangannya di tempat resmi yang diizinkan pemerintah daerah setempat, dan apakah pemasangan baliho tersebut membayar pajak.

“Bukan soal timing karena timing bisa kapan saja. Karena kehidupan politik kan tetap berjalan,” ujarnya.

“Kalau nggak bayar pajak, itu yang harus kita kritik,” tegasnya.

Gerakkan Ekonomi

Lebih lanjut, Hasan mengingatkan, proses politik yang memerlukan biaya yang besar juga menggerakan ekonomi masyarakat, terlebih di masa-masa sulit sekarang ini. Dia lantas mencontohkan penyelenggaraan Pilkada 2020 yang sudah menggerakkan ekonomi di akar rumput.

“Tahun 2020 orang mengkritik kenapa harus ada Pilkada di 2020. Tapi jangan lupa, perputaran uang ketika ada Pilkada 2020, kalau menurut perhitungan pemerintah, itu mencapai Rp35 triliun,” ujar Hasan.

Dia meminta publik membayangkan dampak perputaran uang sebesar itu bagi kehidupan ekonomi rakyat.

“Bayangkan jumlah masyarakat yang bisa hidup dari perputaran ekonomi itu. Katering hidup, event orginazer hidup, tukang sound system hidup, percetakan hidup, konveksi yang bikin-bikin kaos hidup, tukang spanduk baliho hidup, sekedar tukang pasangnya hidup, ekspedisi hidup, banyak multiplie effect-nya hidup,” katanya.

“Dan itu orang yang diberi kehidupan dengan cara terhormat. Karena dia bekerja, dapat gaji, keluarganya dapat makan,” tambah Hasan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya