Kewalahannya Pembuat Peti Mati di Indonesia Kala Pandemi COVID-19
- abc
Ari Rusmawan sudah bekerja sebagai pembuat peti di Jakarta Timur sembilan tahun lamanya.
Namun, ini pertama kalinya ia dan rekannya kesulitan memenuhi permintaan di tengah banjirnya pesanan untuk pasien COVID-19 yang meninggal dunia.
Sebelum pandemi, Ari dan rekannya paling banyak 10 peti per hari.
Kini, mereka harus membuat paling sedikit 30 peti per hari.
Indonesia telah disebut sebagai episentrum baru virus corona karena jumlah kasus dan kematian yang terus bertambah akibat menyebarnya varian Delta.
Sejak beberapa minggu terakhir, rata-rata terdapat 49.435 kasus dengan lebih dari 1.000 kematian per hari.
Rumah sakit kewalahan, demikian juga pembuat peti dan petugas pemakaman.
Walau banyak pesanan peti yang "seringkali tidak terpenuhi", perusahaannya, CV Sahabat Duka, mengirimkan setidaknya 100 peti dalam dua minggu ke setiap instansi seperti rumah sakit dan yayasan ambulans di Jakarta.
"Sebenarnya mereka minta sebanyak-banyaknya, tapi keadaan kami terbatas," tuturnya.
Karenanya, jumlah pekerja ditambah menjadi 12 orang, dari sebelumnya yang hanya tiga orang.
Ari yang juga terpaksa bekerja hingga larut malam demi memenuhi pesanan.
"Biasanya hanya sampai jam 5 sore, tapi belakangan ini kami bekerja sampai malam," kata Ari.
"Istirahat jam 5 sore, kemudian lanjut lagi mulai jam 7 sampai jam 11 atau bahkan lewat tengah malam."
"Pernah bekerja sampai menjelang subuh, tapi karena diprotes warga sekitar, sekarang kami usahakan jam 11 malam sudah selesai."
Di Malang, Jawa Timur, seorang pembuat peti lainnya, Antonius Budi Wantoro, juga mengalami hal yang sama.
Kesibukan ini terutama dirasakan Antonius selama dua bulan terakhir.
"Kalau dulu sebelum COVID-19 paling banyak 15-20 peti saja," ujarnya kepada IDN Times pekan lalu.
Namun, kini ia dan karyawannya harus memproduksi 50 peti per hari.
Seorang pengusaha mebel di Tuban, Jawa Timur bahkan sampai beralih profesi menjadi pembuat peti karena bisnisnya sepi di tengah pandemi.
"Saya diminta rumah sakit setempat untuk membuat peti," kata Pornomo.
Kelangkaan bahan baku
Pornomo mengatakan di tengah meledaknya jumlah permintaan, pencarian bahan baku menjadi tantangan.
"Kita tidak bisa memproduksi dalam jumlah banyak karena bahan baku peti juga kadang tidak ada," katanya.
Kelangkaan bahan seperti triplek, juga cukup mengkhawatirkan Ari.
Ia mengatakan tempatnya bekerja sempat tidak memenuhi target pembuatan peti karena bahan bakunya datang terlambat, atau tidak datang sama sekali.
"Kami pernah empat hari enggak bisa produksi karena enggak ada bahan baku."
Perasaan Ari campur aduk melihat bertambahnya jumlah permintaan ini.
"Di satu sisi saya ya ibaratnya senang karena permintaan banyak, tapi sebagai manusia saya sedih juga, ini yang meninggal banyak sekali," ujarnya.
Krematorium kewalahan
Seperti pembuat peti dan petugas pemakaman jenazah, krematorium di Jakarta juga sama-sama kewalahan.
Evi Mariani, wartawan Project Multatuli di Jakarta, kehilangan ayahnya yang meninggal karena COVID-19 bulan lalu.
Karena rumah sakit penuh, ayahnya terpaksa dirawat di rumah sakit yang berjarak 150 kilometer dari rumahnya di Bandung, Jawa Barat.
Namun, 24 jam setelah dirawat, ia meninggal dunia.
Keluarga Evi kesulitan menemukan tempat kremasi untuk ayahnya.
"Jadi waktu itu kami pikir, oke kami cari saja krematorium yang paling dekat dengan rumah sakit, dan nanti kami akan membawa pulang abunya ke Bandung," ujar Evi.
Namun ketiga fasilitas di Jakarta yang menerima jenazah COVID-19 sudah penuh, kata Evi.
Evi sebenarnya punya pilihan untuk mengkremasi ayahnya tiga hari setelah meninggal dunia.
Tapi keluarganya ingin melepas mendiang lebih awal.
Akhirnya, mereka harus kembali ke Bandung untuk menemukan krematorium yang tersedia.
Ania Desliana, presiden Oasis Lestari Crematorium di Jakarta mengatakan jumlah kremasi naik dua kali lipat dibandingkan sebelum pandemi, yaitu sebanyak 183 per bulan.
Ia mengatakan jumlah ini akan terus bertambah akhir bulan ini melihat panjangnya daftar tunggu kremasi.
"Beberapa orang pada akhirnya bahkan harus menguburkannya karena jenazah COVID-19 tidak bisa diformalin dan hanya bisa bertahan dua sampai tiga hari," kata Ania.
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris