Azis Syamsuddin Akan Dihadirkan di Sidang Wali Kota Tanjungbalai
- VIVA/Anwar Sadath
VIVA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menghadirkan Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin sebagai saksi dalam sidang suap terhadap penyidik KPK, Stepanus Robinson Pattuju senilai Rp1,6 miliar, dengan terdakwa Wali Kota Tanjungbalai nonaktif, Muhammad Syahrial.
Menurut Jaksa KPK, Budi, dalam perkara ini KPK telah melakukan pemeriksaan saksi sebanyak 76 orang. Namun, hanya akan dihadirkan 20 orang saksi di persidangan, salah satunya politisi Golkar, Azis Syamsuddin.
"Sesuai dengan fakta BAP, nanti kita upayakan. Jadi memang terdakwa ini, sebelum bertemu dengan Robinson Pattuju itu bertemu dulu, melakukan pertemuan dengan Pak Azis Syamsuddin. Perkenalannya di situ," sebut Budi kepada wartawan di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin 12 Juli 2021.
Budi menjelaskan untuk berkas perkara milik Setepanus Robinson Pattuju yang terlibat dalam kasus penyuapan ini, tengah dirampungkan oleh penyidik dan segera dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
"Ini pemberinya (terdakwa Syahrial) dulu. Karena penahanannya lebih singkat jadi diduluankan. Untuk penerima masih pemberkasan. Kemungkinan sidangnya juga di Medan," tutur Budi.Â
Dalam dakwaannya, perbuatan terdakwa Syahrial dalam kasus suap terhadap penyidik KPK, Stepanus Robinson Pattuju senilai Rp 1,6 miliaran, Â berawal sekitar bulan Oktober tahun 2020, dimana Wali Kota Tanjungbalai yang juga merupakan kader Golkar berkunjung ke rumah dinas Muhammad Azis Syamsuddin selaku Wakil Ketua DPR RI yang juga merupakan petinggi Partai Golkar.
Pada pertemuan itu, terdakwa dan Azis Syamsudin membicarakan mengenai Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada) yang akan diikuti oleh Terdakwa di Kota Tanjungbalai, lalu Azis Syamsuddin menyampaikan kepada Terdakwa akan mengenalkan dengan seseorang yang dapat membantu memantau dalam proses keikutsertaan Terdakwa dalam Pilkada tersebut.Â
"Setelah Terdakwa setuju, kemudian Azis Syamsudin mengenalkan Stepanus Robinson Pattuju yang merupakan seorang penyidik KPK kepada Terdakwa," ucap Budi dalam persidangan yang digelar secara virtual di Cakra II Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Dalam perkenalan itu, Terdakwa menyampaikan kepada Stepanus Robinson Pattuju akan mengikuti Pilkada periode kedua Tahun 2021 sampai dengan Tahun 2026. Namun ada informasi laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai pekerjaan di Tanjungbalai dan informasi perkara jual beli jabatan di Pemerintahan Kota Tanjungbalai yang sedang ditangani oleh KPK.
"Sehingga terdakwa meminta Stepanus Robinson Pattuju supaya membantu tidak menaikkan proses Penyelidikan perkara jual beli jabatan di Pemerintahan Kota Tanjungbalai yang melibatkan Terdakwa ke tingkat Penyidikan agar proses Pilkada yang akan diikuti oleh Terdakwa tidak bermasalah," tutur Budi.Â
Atas permintaan Terdakwa tersebut, Stepanus Robinson Pattuju bersedia membantu dan saling bertukar nomor telepon. Kemudian, Stepanus Robinson Pattuju menelpon rekannya Maskur Husain seorang advokat.
Dia menyampaikan persoalan yang diadukan terdakwa kepada Maskur. Maskur yang seorang advokat itu menyanggupi untuk membantu pengurusan perkara tersebut asalkan ada dananya sebesar Rp1,5 miliar. Permintaan ini disetujui Stepanus Robinson Pattuju untuk disampaikan kepada Terdakwa.
Singkat cerita, terdakwa kemudian menyanggupi permintaan ini dan mengirimkan uang itu secara bertahap melalui rekening Riefka Amalia. Total pengiriman melalui rekening itu mencapai Rp1.475.000.000.
Bahwa selain pemberian uang secara transfer yang dilakukan oleh Terdakwa tersebut di atas, Terdakwa pada tanggal 25 Desember 2020 berlanjut menyerahkan uang tunai kepada Stepanus sejumlah Rp210.000.000.
Kemudian pada awal Maret 2021 menyerahkan terdakwa juga menyerahkan sejumlah Rp10.000.000,00 di Bandara Kualanamu Medan. "Sehingga jumlah seluruhnya Rp1.695.000.000," jelas Jaksa.
Atas perbuatannya, terdakwa Syahrial dijerat KPK dengan pasal berlapis, yakni Pasal 5 ayat (1) huruf b  dan a  serta Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.
Â