Pemerintah Ditantang Bikin Vaksin Tanpa Izin Pemilik Paten
- dokumentasi kominfo
VIVA – Produsen vaksin COVID-19 di sejumlah negara saat ini berjibaku memproduksi sebanyak mungkin untuk mengakhiri pandemi lewat skema membuat kelompok kekebalan imun atau herd immunity.
Penggunaan vaksin yang melewati tahapan uji klinis dan langsung didistribusikan ke masyarakat dengan dalih penggunaan darurat. Vaksin COVID-19 yang dinilai sebagai penemuan penting, dinaungi aturan hak kekayaan intelektual khususnya di bidang paten jadi melekat.Â
Terutama ketika menjawab pertanyaan saat vaksin COVID-19 dipatenkan, apakah bakal jadi barang mahal dan bisakah pemerintah sebagai pemegang kebijakan, memproduksi vaksin tanpa izin?.
Guru Besar Departemen Hukum Teknologi Informasi dan Hak Kekayaan Intelektual Universitas Padjajaran (Unpad), Ahmad Ramli menjelaskan, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten sudah menjawab pertanyaan tersebut.
"Pemerintah berwenang memproduksi vaksin tanpa izin ke pemilik patennya dalam keadaan mendesak berdasarkan Pasal 109 ayat (3) huruf b Undang-undang Paten," ujar Ahmad Ramli dalam webinar yang digelar Ikatan Alumni Fakultas Hukum Unpad, Kamis 24 Juni 2021.
Pertanyaan itu jadi penting untuk memastikan agar distribusi vaksin COVID-19 tetap berjalan lancar untuk mengakhiri pandemi tanpa harus terhalang urusan hak kekayaan intelektual yang jadi bahasan penting dunia saat ini.
Hal senada dikatakan Guru Besar Hak Kekayaan Intelektual Unpad, Eddy Damian. Menurutnya, selain menggunakan dasar hukum Undang-undang Paten, Kepres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19 juga bisa jadi acuan.
"Dengan adanya Keppres Nomor 11 Tahun 2020, maka pemerintah seharusnya bisa memproduksi vaksin tanpa membayar royalti kepada pemilik hak paten," katanya.
Pendapat keduanya ini dinilai sangat penting manakala jika kelak, saat vaksinasi COVID-19 ini tidak lagi digratiskan, masyarakat atau perusahaan tidak harus membayar mahal.Â
Dosen Fakultas Hukum Unpad, Ranti Fauza Mayana menyampaikan, Undang-undang Paten sudah mengatur situasi darurat yang belum diperkirakan sebelumnya. Termasuk penggunaan hak paten di tengah situasi darurat.
Termasuk di Perpres Nomor 77 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah.Â
"Jadi pelaksanaan paten oleh pemerintah karena kebutuhan mendesak mencakup produk farmasi yang harganya mahal, diperlukan untuk tanggulangi penyakit yang akibatkan kematian mendadak hingga meresahkan dunia," kata Ranti.
Istilahnya kata Ranti, disebut government use yang digunakan saat darurat kesehatan, darurat ketahanan pangan, darurat bencana hama dan bencana alam lingkungan.
Direktur Operasional PT Bio Farma, Rahman Roestan berbagi pengalamannya soal pembuatan vaksin berkaitan dengan hak paten saat merebak flu burung.
Waktu di Jenewa, dalam kasus flu burung, PT Bio Farma mampu memproduksi vaksin flu burung asal patennya dibebaskan.Â
"Saat itu, industri besar melindungi hasil penelitiannya saat produknya dikirim ke berbagai negara yang terdampak. Indonesia hanya di awal saja lalu berhenti. Tapi karena saat ini sudah pandemi global, ini (produsen vaksin) sudah saling berbagi," ujarnya.
Hanya saja, saat ini, platform teknologi pembuatan vaksinnya saja yang berbeda. "Sehingga perlu didampingi dengan kesepakatan global bersama. Jadi menurut saya, sekarang saatnya berbagi," katanya.
Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kemenkum HAM Freddy Harris menyampaikan, pemerintah mendukung PT Bio Farma untuk segera memproduksi vaksin.Â
"Namun tidak hanya vaksin, tapi juga mendukung memproduksi obat untuk mengurangi keterpaparan virus," ucap Freddy Harris, yang hadir pada webinar itu sebagai keynote speaker.
Rizky A Adiwilaga selaku penasehat senior bidang hukum dan hak kekayaan intelektual LPIK Institut Teknologi Bandung (ITB) menyampaikan, saat ini sudah ada 21 penemuan terkait pandemi COVID-19. Salah satunya, temuan teknologi ventilator untuk pasien penderita COVID-19.Â
Ketua IKA FH UNPAD Yudhi Wibisana menambahkan, vaksin COVID-19 yang diproduksi saat ini, diakui banyak pihak membutuhkan biaya tidak sedikit. Belum lagi, urusan soal penghargaan terhadap penemu atau inventor vaksin itu sendiri.Â
Dengan kondisi itu, karena Indonesia meratifikasi perjanjian TRIPs, sebuah konvensi internasional di bidang hak kekayaan intelektual, sejumlah pihak mulai menyoal tentang ketentuan terkait hak paten oleh pemerintah.Â
Dalam kondisi demikian, adakah kemungkinan bagi pemerintah untuk memproduksi vaksin yang saat ini hak eksklusifnya masih dipegang para inventor dari luar negeri?
"Kami berharap, dengan berkumpulnya para pakar hak kekayaan intelektual dan rahasia dagang dapat membawa hasil terbaik yang bisa jadi masukan untuk pemerintah dalam mempertimbangkan klausul government use dalam produksi vaksin demi kepentingan publik," ucap Yudhi.Â