Bikin Gaduh, Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP Didesak Dibatalkan

Ilustrasi Sidang Paripurna DPR
Sumber :
  • VIVAnews/Anwar Sadat

VIVA – Munculnya kembali pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai kritikan. Presiden dan lembaga DPR pun disorot karena Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pernah membatalkan pasal penghinaan tersebut.

Program 'Lapor Mas Wapres' Tampung Keluhan Warga Maksimal 60 Orang Setiap Hari

Terkait itu, desakan agar pasal dalam draf RKUHP itu dibatalkan karena hanya memunculkan kegaduhan. Demikian disampaikan Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Ketua Bidang Hukum DPP KNPI Medya Rischa Lubis mengatakan saat ini era digitalisasi sudah berkembang pesat. Namun, praktiknya dengan ketentuan pidana penghinaan yang diatur UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah seringkali membuat gaduh.

Aduan Hari Pertama 'Lapor Mas Wapres': Dari Minta Ijazah Anaknya Ditebus sampai Minta Pindah Rusun

"Ketentuan pidana penghinaan dalam UU ITE seringkali membuat gaduh di kalangan masyarakat karena dianggap seperti pasal karet yang banyak disalahgunakan untuk membedakan hinaan dan kritik," kata Medya, dalam keterangannya, Rabu, 9 Juni 2021.

Dia mengingatkan, Presiden dan DPR adalah pemegang kekuasaan terhadap pemerintahan negara. Namun, diharapkan agar mereka bukan menjadi insan yang antikritik. Selain itu, ia menilai tak perlu adanya pengkhususan pemidanaan terhadap Presiden dan DPR. 

Gibran Usul SD-SMP Terapkan Pelajaran Coding, Tidak Kalah dengan India

“Hal inilah yang membuat MK menghapuskan pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP kita di antaranya Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 melalui putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 beberapa tahun silam," jelasnya.

Menurut dia, merujuk putusan MK bahwa tiga pasal itu dinilai menghalangi kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat. Dengan putusan MK, maka tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden menjadi delik aduan biasa. Begitu juga berlaku kepada anggota DPR, MPR, dan DPD.

“Indonesia adalah negara hukum, dan semua warga negara berhak mendapat persamaan di muka hukum. KUHP sudah cukup mengatur pemidanaan terhadap orang termaktub dalam pasal 310 sampai dengan pasal 317," jelasnya. 

Lagipula, kata dia, UU ITE sudah mengatur pidana penghinaan melalui medsos. Pasal itu termuat dalam pasal 27 UU ITE.  "Jadi, buat apalagi RKUHP mengkhususkan pemidanaan terhadap presiden dan anggota DPR,” tuturnya.

Pun, Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama ikut mengkritisi pasal penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, dan lembaga DPR. Dia mengatakan, semua orang sama kedudukannya di mata hukum.

Haris menegaskan pasal tersebut harus ditolak keras jika disahkan. Sebab, pasal tersebut akan memunculkan kegaduhan lantaran jadi pasal karet.

“Menolak keras apabila disahkan RKUHP dalam pasal 218 dan 220 mengenai penghinaan terhadap presiden, wakil presiden bahkan anggota DPR karena hanya akan membuat gaduh di masyarakat dan berpotensi kembali menjadi pasal karet dengan tujuan membungkam kritik terhadap kinerja penguasa,” jelas Haris.

Isu terkait digodoknya pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden dan DPR jadi sorotan. Dalam draf RUU KUHP, penghinaan terhadap presiden/wapres bisa terancam maksimal 3,5 tahun penjara. 

Namun, jika penghinaan dilakukan lewat media sosial atau sarana elektronik, ancamannya menjadi 4,5 tahun penjara. Lallu, untuk penghina lembaga DPR, bisa dipidana maksimal 2 tahun penjara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya