Perjalanan Kasus Korupsi PT Antam Rp92 Miliar yang Menyeret Eks Dirut
- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVA – Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan duduk perkara dugaan korupsi penyimpangan dalam proses pengalihan izin usaha pertambangan (IUP) seluas 400 hektar di Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Diduga, kerugian negara mencapai Rp92 miliar.
“Penyidikan perkara ini sekitar tahun 2018 dan 2019. Perkara ini sudah tahap 1. Atas instruksi Bapak Jaksa Agung, ini merupakan salah satu program prioritas yang harus segera diselesaikan oleh jajaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,” kata Leonard di Kejaksaan Agung pada Rabu, 2 Juni 2021.
Awalnya, kata dia, kasus tersangka BM selaku Direktur Utama PT Indonesia Coal Resources (ICR) periode 2008-2014 melakukan akuisisi terhadap PT Tamarona Mas Internasional (TMI), perusahaan batu bara di Mandiangin, dalam rangka mengejar ekspansi akhir tahun PT ICR pada 2010.
“Setelah mendapat hasil laporan site visite dari saksi, tersangka BM melakukan pertemuan dengan tersangka MT selaku penjual (kontraktor batu bara) pada 10 November 2010. Telah ditentukan harga pembelian yaitu Rp92,5 miliar, padahal belum dilakukan due dilligence,” ujarnya.
Setelah itu, Leonard mengatakan MoU dilakukan di Jakarta pada 19 November 2010 antara PT ICR-PT CTSP (Citra Tobindo Sukses Perkasa)-PT TMI-PT RGSR dalam rangka akuisisi saham PT. CTSP yang memiliki IUP dengan luas lahan 400 hektar.
“Karena PT. ICR tidak memiliki dana untuk akuisisi PT. CTSP, saksi AA yang menjabat selaku Komisaris Utama PT. ICR meminta penambahan modal kepada PT. Antam sebesar Rp150 miliar,” jelas dia.
Menurut dia, penambahan modal disetujui melalui Keputusan Direksi PT Antam yang dikoordinir tersangka AL (Alwinsyah Lubis) selaku Direktur Antam pada 4 Januari 2011 tanpa melalui kajian menyeluruh. Akhirnya, penambahan modal disetujui Rp121,97 miliar.
“Penambahan modal disetor kepada PT. ICR sebesar Rp121.975.600.00 untuk mengakuisisi 100 persen saham PT. CTSP, yang mempunyai aset batu bara di Sarolangun Provinsi Jambi,” katanya.
Dengan tidak dilakukannya kajian internal oleh PT Antam secara komprehensif, Leonard mengatakan ditemukan bahwa SK Bupati Sarolangun No.32 Tahun 2010 tentang Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT. TMI (KW.97 KP.211210) tanggal 22 Desember 2010 diduga fiktif.
“Karena pada kenyataannya, lahan 201 Ha ijin usaha pertambangan masih eksplorasi. Due dilligence pada lahan 199 hektare yang memiliki IUP OP hanya dilakukan terhadap lahan 30 hektare (tidak komprehensif),” katanya.
Jadi, kata dia, tersangka BM dan tersangka ATY tidak pernah menunjukkan IUP asli atas lahan tambang batu bara yang menjadi objek akuisisi. Setelah dilakukan perjanjian jual beli saham pada 12 Januari 2011, tersangka MH mendapat pembayaran sebesar Rp 35 miliar, dan tersangka MT mendapat pembayaran Rp56,5 miliar.
“Perbuatan Tersangka BM bersama-sama ATY, saksi AA, HW, MH, dan MT telah merugikan keuangan negara sebesar Rp92,5 miliar sebagaimana hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP),” terangnya