Panas, Haris Azhar ke Kapitra: Pandangan Anda Itu Bias Kelas
- tvOne
VIVA – Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berujung dinonaktifkan 75 pegawai KPK termasuk penyidik senior Novel Baswedan menuai kritikan. TWK jadi tahapan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara atau ASN.
Polemik 75 pegawai KPK dinonaktifkan ini jadi perbincangan dalam Catatan Demokrasi tvOne dengan tema 'KPK sudah tiada'. Narasumber pembicara yang hadir antara lain pengacara sekaligus politikus PDIP Kapitra Ampera, praktisi hukum Haris Azhar, dan eks Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono.
Dua pembicara yaitu Kapitra dengan Haris Azhar sempat terlibat perdebatan sengit. Sebelum perdebatan, Haris dalam sesi itu diberikan kesempatan untuk memaparkan TWK yang tidak meloloskan Novel Baswedan Cs. Menurut dia, TWK yang disuguhkan itu bukan wawasan kebangsaan melainkan problem bangsa.
Ia menyampaikan demikian karena dalam TWK ada pertanyaan soal isu Papua merdeka sampai lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Haris bilang pertanyaan itu bukan tugas, pokok, dan fungsi atau tupoksi untuk pegawai KPK.
Haris menyindir isu yang jadi pertanyaan dalam TWK adalah problem bangsa yang tak bisa diselesaikan pemerintah. Bagi dia, TWK dengan deretan pertanyaan itu tak punya dasar kuat jika digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Dari situ aja kita bisa lihat bahwa tes ini sebetulnya tidak profesional. Tidak memenuhi standar government. Tata kelola yang baik. Dalam sebuah pemerintahan. Nah, itu satu hal besar," ujar Haris dikutip VIVA pada Senin, 17 Mei 2021.
Haris menduga 75 pegawai yang tak lolos memiliki problem pribadi dengan Ketua KPK Firli Bahuri. Pun, menurut dia, Firli sengaja menyusup lewat TWK untuk menjegal 75 orang tersebut.
"Dugaan saya ya. Untuk menyingkirkan, untuk memudahkan tahap pertama karpet merahnya. Kira-kira begitu. Ada lagi orang-orang yang sedang mengupayakan penegakan hukum," tutur Haris.Â
Dia menyinggung peristiwa operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat. Sebab, yang memimpin OTT itu adalah penyidik KPK yang masuk daftar 75 pegawai dinonaktifkan.
Haris mempersoalkan hal tersebut karena Novi Rahman bisa saja melakukan gugatan praperadilan lantaran penyidik KPK yang pimpin OTT statusnya sudah nonaktif.
"Mukenya si Firli ini mau taruh di mana? Ternyata produk, policy-nya pimpinan KPK, Ketua KPK dipake sama orang yang ditangkap sama institusinya," kata Haris.
Menanggapi Haris, Kapitra menyampaikan pandangannya. Dia mengatakan posisi KPK bukan milik kelompok orang. Sebab, KPK adalah milik negara.Â
Kapitra menekankan dalam Undang-undang, ada pengaturan pegawai KPK jadi ASN. Menurut dia, 75 pegawai yang tak lolos itu merupakan konsekuensi logis dari proses TWK.
Bagi dia, polemik 75 pegawai yang tak lolos TWK itu bukan karena prestasi. Namun, ia menyinggung Novel Cs yang ngotot meski tak lolos. "Kalau memang 75 ini berprestasi, ya keluar saja. Biar saja, orang-orang yang mampu mengurus KPK, biar diurus mereka," ujar Kapitra.Â
Menurut dia, meskipun tanpa ada 75 orang itu, KPK tetap ada dan tidak rontok. Maka itu, sebaiknya tak perlu ngotot bertahan di KPK. "Memang kalau 75 orang ini tidak ada, KPK rontok? KPK (masih) ada sampai saat ini," tutur Kapitra.
Mantan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono diberikan kesempatan pembawa acara untuk menanggapi pernyataan Kapitra. Giri bilang, KPK adalah harapan Indonesia bukan sebagai lembaga yang mewakili perorangan.
Maka itu, ia menekankan 75 pegawai yang tak lolos hanya bagian sekrup dari KPK yang berusaha menghidupkan harapan publik
Belum selesai Giri menjelaskan, Kapitra menyelaknya. Kata dia, tanpa 75 orang itu, pegawai KPK masih ada 1.287 orang dan akan tetap jalan. "Yang 1.287 itu kan bagian dari KPK. Yang satu kesatuan menangani problematik yang ada," ujar Kapitra.
Mendengar pernyataan Kapitra, Haris Azhar langsung memotongnya. Bagi Haris ucapan Kapitra bias.
"Pak Kapitra, saya mohon maaf. Menurut saya pandangan Anda itu bias kelas," ujar Haris.
"Lah, nggak sama. Pandangan saya secara verbal," jawab Kapitra.
"Bias kelas artinya begini. Pandangan Anda itu tadi anggap teman-teman saya karyawan. Saya ada sense of belonging," jelas Haris.
Kapitra pun menjawab bahwa polemik ini bukan masalah sense of belonging. Namun, ia menekankan hal ini menyangkut soal kapabilitas.Â
"Kalau yang menguji, menilai itu tidak berhak mengatakan ini tidak mampu. Ini penilaian subjektif atau objektif tergantung yang menilai," tutur Kapitra.
"Saya setuju kalau metodologi itu," kata Haris merespons. Â
"Jadi, kita sederhanakan logikanya," ujar Kapitra lagi.
Haris meminta waktu untuk menjelaskan maksudnya kepada Kapitra. Dia menekankan sebaiknya dalam sistem berlaku untuk semua pihak terkait termasuk seluruh elemen KPK.
"Nah, standar itu yang harus dilakukan terhadap semua orang. Dan, dijalankan secara transparan, punya integritas. Yang ditanya integritas bukan si Mas Giri (Giri Suprapdiono) dan 74 temannya. Tapi, kepada orang yang tanya," sebut Haris.
Haris pun teringat dengan pesan Nabi Isa saat membela seorang perempuan yang sedang dihukum oleh sekumpulan orang.
"Dia belain lah itu perempuan. Dia bilang jangan menghukum orang kalau tangan Anda kotor," sebut Haris.
"Ini bukan hukuman. Ini orang dites. Ini konsekuensi logis dari tes. Iya kan," ujar Kapitra menjawab Haris.
"Nah, kalimat tadi konsekuensi logis. Persoalannya sekarang pertanyaannya nggak logis," tutur Haris lagi.Â
Kapitra meminta agar Haris jangan bicara dengan memberikan penilaian logis. Sebab, subjektif atau objektif dalam TWK tak bisa dinilai sepihak.
Mendengar ucapan Kapitra, Haris meminta politikus PDIP itu sebaiknya jujur dalam memandang isu 75 pegawai KPK dinonaktifkan.
"Udah kita jujur saja. Jujurnya kita begini. Jujur saja nyatakan bahwa ini ada perang menyingkirkan 75 di dalam," sebut Haris.
"Bukan. Jangan kita melihat sudut kaca mata kita yang subjektif," tutur Kapitra.