Ngabalin Tunjuk-tunjuk Abdullah Hehamahua: Jangan Bikin Bodoh Publik
- tvOne
VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi nonaktifkan 75 pegawai yang tidak lolos dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Cara nonaktifkan Novel Baswedan Cs itu dinilai upaya menjegal pegawai-pegawai yang berintegritas.
Demikian isu 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan itu jadi pembahasan dalam Catatan Demokrasi tvOne dengan tema 'KPK sudah tiada?'. Dalam tema itu, hadir pembicara antaralain Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin dan eks penasihat KPK Abdullah Hehamahua secara virtual.
Ali Ngabalin dan Abdullah Hehamahua sempat adu argumen dalam kesempatan satu sesi. Sebelum perdebatan keduanya, Abdullah menyampaikan pandangannya bahwa korupsi masuk sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa.
Menurut dia, lantaran extra ordinary crime, korupsi harus diberantas dengan organisasi atau lembaga disertai sumber daya manusia yang luar biasa.
Pun, ia bilang TWK yang tidak meloloskan Novel Baswedan dan 74 pegawai lainnya dinilainya aneh bin ajaib. Sebab, Abdullah mengenal 75 orang tersebut dengan pencapaian prestasi luar biasa.
"Orang-orang yang punya prestasi luar biasa. Itu Firli (Ketua KPK) kalau ikut tes sama-sama dengan Novel, kalah Firli. Dengan Giri (Giri Suprapdiono) saja kalah, apalagi dengan yang lain," ujar Abdullah dikutip dari Youtube tvOne pada Sabtu, 15 Mei 2021.
Dia menyinggung Ketua KPK Firli Bahuri saat masih jabat Deputi bidang Penindakan yang pernah melanggar kode etik. Ia mengetahui hal tersebut lantaran pernah diundang pengawas internal KPK untuk memberikan penilaian terhadap pelanggaran yang dilakukan Firli.
Terkait 75 pegawai, ia mengingatkan antara DPR yaitu Komisi III DPR dengan pemerintah sepakat terhadap dua konsensus. Kata dia, dua konsensus ini menyangkut proses ahli status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Abdullah menyampaikan dua konsensus itu pertama tidak boleh ada memberhentikan pegawai KPK. Kemudian, kedua pendapatan pegawai KPK yang jadi ASN juga tak boleh berkurang. Bagi dia, status nonaktif tak ada bedanya dengan pemberhentian.
"Ya itu kan presidennya orang Jawa. Jadi, antara non aktif dan pemecatan itu sama saja. Apa bedanya antara pemberhentian dengan non aktif. Itu kan cuma prosedur, sebentar nanti kemudian dikeluarkan. SK seperti itu. Non aktif itu kan proses," jelas Abdullah.
Dia menyebut dengan menjadi ASN, potensi penggerusan KPK bisa terjadi. Apalagi, saat ini, KPK memiliki kewenangan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Tapi, Anda sudah lihat bukti BLBI. Sudah SP3. Jadi, ini pesta. Kalau ada orang korupsi lagi, mereka lari ke luar negeri dulu. Tingal dua tahun baru kembali, karena sudah SP3," tuturnya.
Abdullah menyarankan 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK mengajukan proses gugatan hukum ke PTUN.
Giliran Ali Ngabalin yang diberikan kesempatan untuk menanggapi paparan Abdullah. Ngabalin persoalkan pernyataan Abdullah yang menganggap KPK sebagai kementerian negara yang luar biasa.
"Bapak menemukan istilah itu dari mana, dari UU mana itu?" ujar Ngabalin.
Abdullah sempat menanggapi pertanyaan Ngabalin.
"Saya tidak menyebut kementerian negara. Bukan Kementerian," kata Abdullah.
Belum selesai Abdullah menjelaskan, Ngabalin terus mencecar. Ia menyoroti pernyataan eks penasihat KPK itu yang sebut pertanyaan TWK aneh bin ajaib.
"Terus yang kedua pertanyaan aneh, ajaib. Putar ulang itu tvOne. Putar ulang apa yang bapak Abdullah Hehamahua sebut," tutur Ngabalin.
"Makanya saya harus bantah, karena kalau tidak saya bantah pernyataan bapak Abdullah Hehamahua ini tidak hanya sesat tapi menyesatkan publik," lanjut Ngabalin.
Dia merasa heran karena status Abdullah bukan panitia seleksi atau pansel dalam proses alih status pegawai KPK jadi ASN. Ia meminta pernyataan Abdullah agar disampaikan dengan tak membuat publik justru bingung.
"Jangan dibawa-bawa kepada statement-statement yang halusinasi. yang membuat asumsi-asumsi buat publik itu justru tidak mencerahkan tapi justru bertambah bingung. Karena penjelasannya penuh halusinasi," jelas Ngabalin.
Abdullah dapat kesempatan untuk menanggapi cecaran dari Ngabalin.
"Oke, kan tadi saya sudah katakan korupsi itu kejahatan luar biasa, maka UU-nya luar biasa. Lembaganya juga luar biasa. Coba cek kembali itu. Itu satu oke," jelas Abdullah.
Dia pun melanjutkan bahwa peralihan pegawai KPK ke ASN itu harus merujuk konsensus yang disepakati DPR-Pemerintah yaitu tidak boleh ada pemberhentian.
"Tidak boleh terjadi pemberhentian, kedua tidak boleh mengurangi ...," tutur Abdullah yang belum selesai bicara.
"Siapa yang melakukan pemberhentian, Pak Abdullah Hehamahua?" kata Ngabalin yang memotong penjelasan Abdullah.
"Siapa sekarang yang sudah memberhentikan pegawai KPK, siapa yang sudah memberhentikan pegawai KPK? Coba bapak jawab itu," ujar Ngabalin mencecar Abdullah.
"Ya, kan nanti prosesnya," jawab Adullah.
Mendengar jawaban Abdullah, Ngabalin terlihat kesal dengan menunjuk-nunjuk ke arah Abdullah yang hadir secara virtual.
"Ah, jangan prosesnya. Belum ada pemberhentian, tidak boleh pegawai KPK itu diberhentikan tanpa koordinasi dengan badan kepegawaian negara. Ingat itu. Jangan bikin bodoh ini publik. Bapak tidak mengerti," kata Ngabalin
"Loh, kalau sudah dinonaktifkan itu apa?" ujar Abdullah
"Heh, itu sudah diberhentikan? Pengalihan alih jadi ASN," tutur Ngabalin.
Abdullah menjelaskan bahwa nonaktifkan itu tahapan administrasi pemberhentian.
"Kan kita bicara tentang administrasi. Administrasi pertama non aktif itu. Non aktif kan. Sesudah itu kemudian, bagaimana setelah lanjutnya," sebut Abdullah.
Ngabalin pun sewot dengan penjelasan Abdullah. Ia menepis paparan Abdulah karena dinonaktifkan itu bukan pemberhentian. "Kalau dibiarkan ini nanti tambah menyesatkan," tutur Ngabalin.
Abdullah lagi-lagi menyampaikan soal administrasi dalam nonaktifnya 75 pegawai KPK. Ia mengatakan demikian karena dengan keluarkan surat keputusan (SK) non aktif maka sudah tak kewajiban dan tanggungjawab dalam pekerjaan.
"Sekarang persoalannya besok dia masuk kantor, terus dia buat apa kalau dia non aktif. Kan harus ditetapkan statusnya apa pegawai biasa, atau apa? Kan harus diselesaikan," kata Abdullah.
"Makanya berapa lama waktu prosesnya. Kan itu tahapan administrasi sehingga dengan begitu kan makanya perlu ada ketegasan. Kalau tidak 75 orang yang menangani kasus-kasus besar itu kan problem besar KPK," sebut Abdullah.