Pakar: Pihak Ketiga yang Beriktikad Baik Dilindungi Hukum Saat Pandemi

Tes usap atau swab test atas pedagang pasar. (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Kemunculan Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabiitas keuangan untuk penanganan pandemi COVID-19 disorot terkait risiko pelaksana kebijakan di tengah masa krisis. Sejumlah pakar hukum merespons dengan menyampaikan pandangannya.

Pakar: Hasto Bukan Target Utama, Kalau Begal 2 hari Selesai, Kok Harun Masiku Panjang Sekali

Pakar hukum dari Universitas Indonesia, Sonyendah Retnaningsih menjelaskan argumennya dalam polemik ini. Menurut dia, pihak ketiga yang memiliki iktikad baik dalam membantu program pemerintah saat pandemi seyogyanya dilindungi dengan aturan hukum yang berlaku. 

Namun, ia mengatakan sebaiknya dalam persoalan ini dikembalikan soal musabab latar belakang diterbitkan UU Nomor 2 Tahun 2020.

Bangkit Usai Dihantam Pandemi, Pendapatan Bisnis KAI Kini Tembus Puluhan Triliun

“Salah satu latar belakangnya, pandemi berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara sehingga diperlukan berbagai upaya pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional," kata Sonyendah, dalam keterangannya, Jumat, 7 Mei 2021.

Dia menjelaskan, penyelamatan itu terfokus pada belanja kesehatan, jaring pengaman sosial, serta pemulihan perekonomian, termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat terdampak.

Kisah Rizky Ridho Jualan Ayam saat Liga Dihentikan Akibat Pandemi: Uang Sisa Rp400 Ribu

Menurut dia, salah satu pelaksanaan dalam jaring pengaman sosial dibuat program bantuan pangan nontunai (BPNT) atau bansos sembako. Program itu di bawah tanggung jawab Kementerian Sosial. 

Terkait pengadaannya, tentu menggandeng pihak ketiga yaitu dari swasta, koperasi, atau bisa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan lainnya. 

“Dalam pengadaan yang dilakukan pihak ketiga karena situasi pandemi COVID-19, maka selama pelaksanaannya dilakukan dengan iktikad baik, yang didasarkan adanya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) yakni asas kebebasan berkontrak KUHPerdata, maka pihak ketiga tersebut wajib dilindungi secara hukum,” jelas Sonyendah.

Menurut dia, hal ini merujuk Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyebutkan: 'suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik'. 

“Pasal ini memberi makna bahwa perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak harus dilaksanakan sesuai kepatutan dan keadilan," tutur dia. 

Dia mengibaratkan iktikad baik ini seperti dalam jual beli yang jadi faktor penting. Dengan demikian, penjual/pembeli yang beritikad baik akan dapat perlindungan hukum secara wajar. Namun, pihak yang tidak beriktikad baik patut merasakan akibat dari ketidakjujurannya tersebut seperti jeratan hukum. 

Pun, ia menyampaikan istilah 'pihak ketiga yang beriktikad baik' itu dalam lingkup pidana memiliki beberapa ketentuan. Hal itu antara lain, dalam Pasal 19 dan Penjelasan Pasal 38 ayat (7) UU Pemberantasan Tipikor. 

Ia juga menyinggung Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2003 yang diratifikasi melalui UU No.7 Tahun 2006 juga mencantumkan kewajiban negara melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik. 

Dia menyampaikan, konvensi ini mengatur negara wajib mengatur dengan cara membuat aturan hukum yang melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.

Kemudian, ia juga merujuk putusan MK No.021/PUU-III/2005, yang intinya setiap perampasan hak milik dapat dibenarkan sepanjang dilakukan sesuai dengan prinsip due process of law. Lalu, perlindungan atas hak milik pihak ketiga yang beriktikad baik. 

“Dengan merujuk pertimbangan hukum putusan MK tersebut, jelas perampasan harta kekayaan pihak ketiga yang melanggar prinsip due process of law, melanggar hak asasi (hak milik) dan bentuk ketidakadilan,” kata dia. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya