KPK Sebut RJ Lino Rugikan Negara Sekitar Rp300 Juta
- VIVA.co.id/ Edwin Firdaus
VIVA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Alexander Marwata, mengungkapkan lembaganya sempat kesulitan melakukan penghitungan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II (Persero) tahun 2010.
KPK baru saja menahan mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino atau RJ Lino pada Jumat, 26 Maret 2021, setelah dia menyandang status tersangka sejak Desember 2015.
Alex, sapaan Alexander, menuturkan bahwa sempat meminta Badan Pemeriksa Keuangan untuk menghitung kerugian negara dalam pengadaan tiga QCC di PT Pelindo.
Namun, BPK tak bisa melakukan penghitungan karena tidak adanya dokumen pembanding dari perusahaan penjual crane yaitu, HuaDong Heavy Machinery Co Ltd (HDHM) dari China.
“BPK tidak bisa melakukan penghitungan karena ketiadaan dokumen atau data pembanding,” ujar Alex di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat, 26 Maret 2021.
Baca juga: KPK Tahan Mantan Dirut Pelindo II RJ Lino
Karena itu, Alex menyebut pihaknya menggunakan ahli Institut Teknologi Bandung untuk melakukan penghitungan.
Menurut ahli ITB bahwa harga pokok produksi tiga crane tersebut hanya 2,9 juta dolar AS untuk QCC Palembang, 3,3 juta dolar AS untuk QCC Panjang, dan 3,3 juta dolar AS untuk Pontianak.
Sementara harga kontrak seluruhnya yang dilakukan Pelindo II adalah 15,5 juta dolar AS atau rata-rata 5 juta dolar AS. Alex mengatakan kerugian negara yang dihitung BPK justru dari biaya pemeliharaan crane tersebut.
Ia lebih jauh menambahkan, kerugian negara dari pemeliharaan itu adalah 22,8 ribu dolar AS atau sekitar Rp328 juta.
“Untuk pembangunan dan pengiriman barang 3 unit QCC tersebut BPK tidak menghitung nilai kerugian negara yang pasti, karena bukti pengeluaran riil HDHM tidak diperoleh,” ujarnya.
RJ Lino sendiri seusai pemeriksaan menyoalkan penghitungan oleh BPK tersebut. Dia menilai urusan pemeliharaan crane bukanlah urusan direktur utama. Selain itu, kerugian negara tersebut, kata dia, juga terlalu kecil.
“Mereka enggak fair,” kata Lino.