Arbi Sanit Disebut Tokoh yang ‘Tak Beringsut oleh Tekanan dan Ancaman’

Arbi Sanit (kiri)
Sumber :
  • Antara/ Ismar Patrizki

VIVA – Pengamat politik Arbi Sanit, yang meninggal dunia pada Kamis pagi, 25 Maret 2021, dikenal tidak hanya sebagai pakar ilmu politik, melainkan juga sosok berintegritas tinggi dan teguh memegang prinsip. Pendapat-pendapat kritisnya tidak hanya kerap muncul di media, tetapi juga senantiasa menjadi rujukan.

Rumah Sakit Islam Jakarta Blak-Blakan Penyebab Bayi Meninggal yang Sempat Dikira Tertukar

Robikin Emhas, seorang koleganya, berduka atas wafatnya Arbi Sanit. Dia segera mengenang momen politik beberapa tahun menjelang kejatuhan pemerintah Soeharto. Saat itu dia bersama Arbi dan banyak aktivis pro-demokrasi berjibaku mendirikan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) pada 1996 dan 1997.

“Saat demokrasi dipasung, pers dikungkung, dan suara rakyat tak dihitung, tokoh berintegritas ini tak beringsut oleh godaan, tekanan dan ancaman. Saya percaya Mas Arbi memilih masa depannya sendiri,” katanya kepada VIVA.

Eks Gubernur Kaltim Meninggal Dunia, KPK Bakal SP3 Kasus Korupsi IUP

Robikin lantas mengingat kritik-kritik sosial-politik Arbi seiring perkembangan iklim berdemokrasi di Indonesia yang memperlihatkan gejala kurang baik.

“Sekarang musim membangkit kerajaan, bukan saja simbolik tapi disertai istana, raja dan ratu, punggawa, dengan pakaian dan upacara resminya,” kutip Robikin dari halaman Facebook Arbi Sanit pada 19 Januari 2020, ketika terdapat beberapa pihak mendeklarasikan kerajaan di NKRI.

Pilpres 2024 Dinilai Mulai Geser Demokrasi RI Jadi Otokrasi Elektoral yang Mengkhawatirkan

Sebagian kalangan, menurut Arbi, fenomena itu dianggap sebagai gejala kultural biasa, sebagian lainnya memahaminya sebagai bagian dari ekspresi hak berkumpul dan berorganisasi. Namun, apa pun itu, Arbi mengamatinya harus dipandang dalam perspektif politik.

“Lebih lanjut, Mas Arbi berargumen, ‘Gejala itu membahayakan visi bernegara masyarakat yang gagal dimatangkan oleh penguasa dan pemerintah. Malah kelakuan korup dan gila hormat penguasa membentuk ketidakpercayaan politik’,” kata Robikin.

Menurut Robikin, dalam pandangan Arbi, tidak etis dan tidak pantas orang dan kelompok membentuk organisasi dengan label kerajaan yang berarti seperti negara.

Konsekuensi lebih buruk lagi, tulis Arbi, “Pembiarannya, memberi peluang membentuk khilafah, imperium, kemaharajaan, yang semuanya itu mengacaukan konsepsi bernegara.” Maka, dia memperingatkan agar pemerintah menertibkan kelompok dan organisasi pembentuk kerajaan atau negara, termasuk istilah, atribut sampai upacara dan tempatnya.

“Selamat kembali pulang, Mas Arbi. Semoga Allah SWT mengampuni segala salah-khilaf Mas Arbi, menerima semua kabjikan yang Mas Arbi lakukan dan membalasnya dengan keuntungan ukhrowi,” kata Robikin, yang juga Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan Pengurus Besar NU.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya