BPOM Disindir, Longgar ke Vaksin Luar tapi Persulit Vaksin Nusantara
VIVA – Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay, mempertanyakan mengenai Vaksin Nusantara yang terlihat dipersulit oleh pihak Badan POM RI. Sementara vaksin-vaksin dari luar negeri, cenderung diperlonggar.
Itu menjadi pertanyaan Saleh, dalam rapat kerja (raker) dan rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX yang menghadirkan sejumlah pihak. Seperti Menkes, Menristek/Kepala BRIN, hingga Kepala BPOM RI.
Dalam tayangan youtube resmi milik DPR, Saleh memfokuskan pembahasannya pada Vaksin Nusantara. Menurutnya, pengembangan vaksin ini memang identik dengan mantan Menkes Terawan Agus Putranto. Walau sebenarnya tidak, karena penelitiannya juga dibiayai oleh negara.
Saleh mengatakan, Vaksin Merah Putih yang dikembangkan di dalam negeri saat ini menggandeng sejumlah lembaga dan universitas. Tapi tidak tercantum dari Universitas Diponegoro (Undip), yang mana kampus ini mengembangkan Vaksin Nusantara.
Baca juga:Â Pengurus Demokrat Seluruh Jatim Notariskan Kesetiaan ke AHY
"Nggak ada juga Undip pak, berarti seakan-akan Vaksin Nusantara diam-diam bikin sendiri. Dan yang paling pahitnya lagi adalah yang muncul di luar sana, sekaan-akan Vaksin Nusantara itu adalah keinginan pribadi Jenderal Terawan. Inikan penting ini. Karena soal ini jangan sampai membuat distorsi pemikiran dan pemahaman kita," jelas Saleh, dikutip Kamis 11 Maret 2021.
Anggota dari Fraksi PAN ini mengatakan, Vaksin Nusantara seolah-olah bukan menjadi bagian proyek tersebut. Tapi pemerintah juga tidak bisa menjabarkan apakah vaksin ini berbahaya.
Dalam penelitian, jelasnya, ada dua falsafahnya yakni justifikasi dan falsifikasi. Jika memang tidak percaya keampuhan Vaksin Nusantara, menurutnya harus difalsifikasi. Dengan menunjukkan data yang meruntuhkan bahwa vaksin itu berbahaya atau tidak berguna. Padahal menurutnya anggaran juga dari negera.
Mantan Ketum Pemuda Muhammadiyah itu menyoroti keberadaan Komite Etik. Dia mempertanyakan, apakah keberadaan komite ini yang membuat Vaksin Nusantara lamban bekerja. Karena menurutnya, etika penelitian itu berlaku umum.
"Jujur saja vaksin ini kepentingan negara itu banyak. Negara-negara lain juga kepentingannya banyak sama negara kita. Kita ada 273 juta lebih rakyat Indonesia yang harus kita amankan semua agar sehat daripada virus ini, jangan nanti ujung-ujungnya komite etik, komite etik," jelas Saleh.
Karena menurut dia, bangsa sebesar ini menjad pasar potensial bagi negara lain untuk menjual vaksinnya. Sementara juga harus dipikirkan bangsa ini bisa mendapatkan vaksin hasil buatan dalam negeri seperti Vaksin Nusantara ini.
Saleh menyoroti BPOM yang menurutnya sangat longgar dalam menerapkan aturan untuk vaksin dari luar negeri. Baik itu Sinovac asal China, maupun vaksin terbaru yang diizinkan masuk lagi yakni AstraZeneca yang berasal dari Inggris.Â
"Saya mau kasih tahu kadang-kadang Badan POM ini longgar. Tapi yang punya luar negeri. Apa buktinya, AstraZeneca itu Emergency Use Authorization (EUA) tidak ada di Indonesia. Ambilnya katanya emergency use di negara lain. Tapi bisa masuk ke sini," jelas dia.
Sementara seperti Vaksin Nusantara yang diteliti di dalam negeri, oleh Komite Eitk harus disetop. Ia mempersoalkan masalah ini, jangan sampai ada sesuatu di balik ini.
"Tolong vaksin ini kalau memang ini bisa. Kecuali kalau bapak-bapak, ibu Penny (Kepala BPOM) bisa membuktikan kalau vaksin ini berbahaya, membunuh orang. Saya bersama ibu Penny akan menghajar Vaksin Nusantara," jelasnya.
Saleh berharap, agar persoalan vaksin ini juga tidak hanya melihat dari buatan luar negeri. Tetapi apa yang sedang dikembangkan oleh peneliti di dalam negeri, juga bisa menjadi perhatian dan mendapat perlakuan adil.
"Saya tidak mau ada lembaga Badan POM kita yang katanya dihormati dipentas internasional malah justeru di dalam negeri sendiri malah mempersulit penelitian," katanya.
Terlebih lagi penelitian Vaksin Nusantara menggunakan denritik. Saleh mendapat informasi, yang menggunakan metode ini baru AS dan kini Indonesia. Sementara China sedang ingin mengembangkan juga.Â
"Jangan sampai diambil China dulu baru kita beli ke China, dagang lagi ini," katanya.
Hingga akhirnya, Indonesia tidak bisa mengembangkan vaksin sendiri akibat dipersulit. Hanya bisa membeli, padahal anggaran juga tidak sedikit, mencapai puluhan triliun. Jika bisa diproduksi sendiri dengan harga yang kompetitif, menurut Saleh tidak ada salahnya mempermudah pengembangan vaksin COVID-19 di Tanah Air.
"Kita ini jadi pasar semua di mana-mana," katanya.