Koalisi Masyarakat Kecewa Revisi UU ITE Tak Masuk Prolegnas Prioritas

(Ilustrasi) Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Sumber :
  • Istimewa

VIVA – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) menyesalkan tidak dimasukkanya revisi UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam 33 RUU prioritas program legislasi nasional atau Prolegnas 2021.

Koalisi masyarakat menuturkan, tak masuknya revisi UU ITE dalam Prolegnas Prioritas 2021 ini semakin menguatkan ketidakseriusan pemerintah dan DPR, dalam merevisi UU ITE. Mengingat perundang-undangan tersebut kerap menimbulkan kontroversi dalam penerapannya.

"Koalisi menyesalkan tidak dimasukkannya UU ITE dalam prioritas tahun 2021, sekalipun sudah menduga memang pemerintah dan DPR tidak cukup serius ingin melakukan revisi UU ITE," kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu dalam keterangan pers bersama Koalisi Masyarakat Sipil yang diterima awak media, Rabu 10 Maret 2021.

Baca juga: Jansen ke Jubir Demokrat Moeldoko: Kalian Ambil Ketua DPD dari Mana?

Kendati demikian, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIP, dan WALHI meminta masyarakat tidak surut mendorong revisi total UU ITE. Pasalnya, revisi UU ITE merupakan prioritas penting untuk memperbaiki sistem hukum pidana dan siber di Indonesia. 

"Serta menegakkan keadilan," kata Erasmus.

Diketahui, pada selasa kemarin, sejumlah anggota Koalisi Masyarakat Sipil memenuhi undangan Kementerian Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemko Polhukam) untuk memberi masukan kepada Tim Kajian Revisi UU ITE yang dipimpin Sigit Purnomo selaku Kedeputian III Polhukam. Kepada Tim Kajian Kemko Polhukam, Koalisi Masyarakat Sipil mendorong revisi total UU ITE.

Erasmus menjelaskan, pokok permasalahan pasal demi pasal di dalam UU ITE yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan multi-tafsir. 

Perajin Tahu Tempe Mogok Produksi, Awas Dimanfaatkan Kartel Impor!

Menurutnya, persoalan utama UU ITE terletak pada perumusan delik-deliknya. Khususnya terkait delik tindak pidana konvensional yang ditarik masuk ke dalam UU ITE (cyber-enabled crime), seperti Pasal 27 (1), 27 (3), dan 28 (2) UU ITE beserta pemberatan ancaman pidana mencapai 12 tahun yang diatur dalam pasal 36 jo 51(2) UU ITE.

"Tumpang tindih pengaturan, ketidaksesuaian unsur pidana, dan ancaman pidana tinggi menjadi masalah utama. Untuk itu, ICJR menyampaikan jalan utama adalah melakukan Revisi terhadap UU ITE," ujarnya.

DPR: BPJS Kesehatan Jadi Syarat Jual Beli Tanah Sewenang-wenang

Pendapat ICJR pun diperkuat lagi oleh Wahyudi Djafar selaku Direktur Eksekutif ELSAM dengan menegaskan bahwa persoalan-persoalan UU ITE tidak terbatas pada persoalan pidana saja. Tetapi juga sejumlah pasal yang tidak sesuai dengan prinsip pengaturan internet dan perkembangan peran perusahaan teknologi. 

Damar Juniarto selaku Direktur Eksekutif SAFEnet secara tegas menyatakan pembuktian ketidakadilan UU ITE bisa ditemukan dengan mudah oleh Tim Kajian Revisi UU ITE dan bahkan ketidakadilan dan ketidakpastian masih terjadi sampai hari ini. 

PKS: Pembahasan RUU TPKS saat Reses Ugal-ugalan Pembuat UU

Damar mengungkapkan, pihaknya baru saja mendampingi dua orang korban ketidakadilan akibat UU ITE dari Tiku V Jorong Sumatera Barat, yaitu Andi Putera dan Ardiman yang harus berhadapan dengan Ketua KAN yang telah merampas hak-hak warga.

"UU ITE justru menjerat mereka berdua yang menggunakan media sosial untuk  mendapatkan keadilan dengan pasal ujaran kebencian. Pendekatan restorative justice yang dikumandangkan Kapolri Listyo Sigit tidak berjalan di Polda Sumbar," kata Damar.

Damar meminta pemerintah tidak berhenti pada membuat pedoman interpretasi UU ITE saja. Tetapi betul-betul merevisi total 9 pasal bermasalah.

"Agar UU ITE menjadi Undang-undang yang lebih baik dalam mengatur kehidupan warga dengan kepastian hukum dan berkeadilan," imbuhnya. 

Sementara Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid meminta agar kasus-kasus yang menunjukkan ketidakadilan dalam penerapan UU ITE untuk dihentikan terlebih dahulu dengan menerbitkan SP3 di tingkat kepolisian dan SKP2 di tingkat kejaksaan.

“Selama menunggu kajian dan kepastian revisi UU ITE, segenap jajaran Kemkopolhukam dapat menimbang tiga usulan,” kata Usman.

Pertama, lanjut Usman, dengan alasan kemanusiaan, mengusulkan ke Presiden untuk pemberian amnesti atau pembebasan tanpa syarat mereka yang dipenjara karena UU ITE dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap. 

Kedua, merekomendasikan ke Kapolri untuk penerbitan SP3 oleh kepolisian untuk kasus-kasus tertentu ITE dan berdasarkan telaah bersama lembaga negara yang independen dan masyarakat sipil. 

“Ketiga, merekomendasikan ke Jaksa Agung untuk penerbitan SKP2 oleh kejaksaan dengan alasan kepentingan umum,” imbuhnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya