Jansen ke Jubir Demokrat Moeldoko: Kalian Ambil Ketua DPD dari Mana?
- tvOne
VIVA – Prahara Partai Demokrat terus memanas usai perhelatan Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Dua kubu yang terlibat konflik saling mengklaim kebenaran versinya masing-masing.
Demikian dibahas dalam Apa Kabar Indonesia Malam tvOne. Dalam diskusi ini hadir Wakil Sekretaris Jenderal DPP Demokrat Jansen Sitindaon, Juru Bicara Demokrat versi KLB Sibolangit Muhammad Rahmad. Selain itu, ada pengamat politik Hendri Satrio dan pakar hukum tata negara Refly Harun.
Salah satu sesi diwarnai debat sengit antara Jansen dengan Rahmat. Hal ini diawali dengan penjelasan Rahmad yang menyebut Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang ditetapkan Kongres V Demokrat pada Maret 2020 itu abal-abal.
"Dan, keterpilihan Ketua Umum AHY sebetulnya juga abal-abal karena tidak melalui mekanisme sebagaimana mestinya," kata Rahmad yang dikutip VIVA pada Rabu, 10 Maret 2021.
Jansen sempat menanggapi omongan Rahmad. Ia mempertanyakan maksud eks Wakil Direktur Eksekutif DPP Demokrat era Anas Urbaningrum tersebut. "Jadi, yang tidak abal-abal itu Moeldoko?" tanya Jansen seraya tertawa.
Rahmad tak menanggapi Jansen dan melanjutkan paparannya. Ia bilang posisi majelis tinggi yang ada di Demokrat era AHY seperti merampas hak-hak demokrasi peserta kongres. Menurutnya, AD/ART 2020 itu juga ilegal karena juga bukan produk kongres.
Menurutnya, AD/ART partai mesti mengedepankan semangat demokrasi keterbukaan, transparan. Bukan justru demokrasi tertutup dalam AD/ART yang dinilai hasil karangan Demokrat tahun 2020.
"Nah, ini lah yang kita hancurkan di KLB Deli Serdang sehingga seluruh peserta kongres sepakat untuk kembali ke AD/ART tahun 2005 di mana demokrasi Indonesia itu dibangun secara transparan," jelas Rahmad.
Baca Juga: AHY vs Moeldoko di Demokrat, Begini Analisa Yusril Ihza Mahendra
Bagi dia, tak ada masalah bagi kader yang tak hadir dalam kongres pada Maret 2020 lalu. Sebab, rekaman perhelatan video kongres yang memilih AHY secara aklamasi itu sudah diketahui kader.
Rahmad mengingatkan Jansen, bahwa dirinya pernah menjadi kepala kantor di DPP Demokrat. "Yang mengetahui betul semua dokumen yang ada di partai. Dan, saya tahu rahasia-rahasia yang ada di partai Demokrat itu," tutur Rahmad.
Kemudian, dengan perhelatan KLB di Sibolangit dan pendaftaran kubu Moeldoko di Kemenkumham maka status kepengurusan Demokrat yang dipimpin AHY menjadi demisioner.
Giliran Jansen menanggapi pernyataan Rahmad. Ia menegaskan pemerintah saat ini masih mengakui Demokrat kepemimpinan AHY sebagai parpol yang sah. Dia meminta Rahmad agar hati-hati menyampaikan pernyataan.
Jansen mempertanyakan status Rahmad di Demokrat. Sebab, ia merasa yang bersangkutan sudah tak aktif di Demokrat dalam 6 atau 7 tahun terakhir.
"Saya tak pernah melihat wajahnya di DPP sehingga kemudian dia mengatakan saya mengetahui semuanya itu, mungkin Partai Demokrat di zaman mas Anas gitu. Partai Demokrat dalam tanda kutip saya katakan tanda kegelapan itu," ujar Jansen.
Jansen punya alasan bilang Demokrat era Anas Urbaningrum punya momen kegelapan karena sejumlah kader ditangkap karena kasus korupsi.
"Itu lah yang membuat Partai Demokrat dari 20 persen jatuh ke 10 persen. Dampaknya sampai sekarang masih terasa. Bahkan saya yang punya integritas sebagai seorang politisi, saya itu habis sering dihujat partai Demokrat katanya partai korupsi. Siapa yang korupsi?" tutur Jansen.
Dia juga heran dengan pernyataan Rahmad yang bilang era AHY ada komunikasi tersumbat. Menurutnya, ucapan Rahmad tak benar karena pimpinan 34 DPD masih setia ke AHY seperti saat menemani ke Kemenkumham pada Senin, 8 Maret 2021.
"Kalau tersumbat, tidak mungkin 34 Ketua DPD itu hadir. Dan, DPC di atas 90 persen loyal ke DPP yang dipimpin mas AHY ini," sebut Jansen.
Pun, ia menyindir dengan kesetiaan 34 DPD sebagai pemilik hak suara dalam kongres maka KLB di Sibolangit dipertanyakan. "Jadi, mencari 2/3 dari 34 orang DPD saja itu KLB tidak mampu. Secara arus bawah, tidak ada pengurus DPD, DPC tidak ada yang mendukung Sibolangit itu," ujar Jansen.
Perdebatan sengit pun dimulai dengan respons dari Rahmad. Ia bilang setelah kepengurusan Moeldoko terdaftar dan disahkan Kemenkumham dengan surat keputusan baru nanti maka kubu AHY menjadi demisioner.
Jansen menimpali kalau sampai KLB di Sibolangit tak mungkin disahkan. Sebab, dari syarat perhelatan KLB, tak ada yang terpenuhi.
"Kalau pegangannya hukum, hukum sebagai panglima. Dan, ukurannya AD/ART Demokrat, di mana mensyaratkan harus didukung setengah DPC, 2/3 DPD sudah tidak mungkin itu disahkan," kata Jansen.
"Bagaimana mau disahkan? Kalian mau ambil Ketua DPD dari mana itu," lanjut Jansen.
Rahmad pun menjawab Jansen. Ia mengingatkan kalau AD/ART 2020 sudah tak berlaku. Pihaknya merujuk AD/ART 2005. "Kita kembali ke Anggaran Dasar 2005. Coba baca anggaran dasar 2005 tentang kongres," tutur Rahmad.
Tak tinggal diam, Jansen menegaskan pemerintah saat ini merujuk AD/ART Demokrat pada 2020, bukan 2005. "Yang jadi pegangan adalah anggaran dasar 2020 yang disahkan Menkumham," sebut Yasonna.
Rahmad menyebut AD/ART 2020 itu bertentangan dengan Undang-Undang tentang parpol sehingga dianulir dalam KLB di Sibolangit. Salah satunya posisi majelis tinggi.
"Ya, anggaran dasar yang bertentangan dengan UU Parpol tentunya. Itu lah yang akan kita hancurkan," ujar Rahmad menanggapi Jansen.
Jansen kembali merespons dengan nada heran tapi geram. Ia pertanyakan maksud ucapan Rahmad yang bilang AD/ART 2020 bertentangan.
"Bagaimana bertentangan? Orang yang mengesahkan itu juga Pak Yasonna kok. Yang mengesahkan itu Pak Yasonna yang sampai sekarang masih Menteri Hukum dan HAM," kata Jansen.