Komjak: Hakim Harus Perberat Hukuman Kasus Mafia Tanah
- ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
VIVA – Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Barita Simanjuntak mengatakan aparat penegak hukum baik polisi, jaksa hingga hakim itu harus jeli dan tegas saat menangani kasus yang melibatkan mafia tanah, termasuk kasus pemalsuan surat tanah di Cakung, Jakarta Timur.
“Saya kira masukan kepada penegak hukum khusus sengketa pertanahan, apalagi persoalan penipuan, itu tidak boleh hanya memegang bukti-bukti formal. Karena bukti-bukti formal banyak direkayasa," kata Barita di Jakarta pada Jumat, 5 Maret 2021.
Menurut dia, mafia tanah sering kali memanfaatkan ketidakpahaman dan ketidaktahuan masyarakat untuk mengurus kepemilikan tanah. Maka dari itu, Barita meminta kepada penegak hukum agar sanksi hukum bagi mafia tanah harus lebih diperberat lagi.
"Biasanya ini terjadi pada masyarakat kecil yang punya tanah di lokasi strategis tapi tidak punya sertifikat. Lalu, dengan berbagai kelihaian dimanfaatkan para mafia ini, dengan merekayasa dokumen," ujarnya.
Di samping itu, Barita meminta hakim teliti dalam upayanya menggali kebenaran materil dan tidak hanya berpedoman pada bukti-bukti yang banyak merugikan masyarakat kecil dalam bukti kepemilikan tanah. Menurutnya, hakim harus mendengarkan sisi historis bukan hanya pada bukti autentik saja.
“Hakim harus teliti agar masyarakat kecil tidak jadi korban permainan mafia tanah. Untuk mencari kebenaran materil, kita harap hakim sungguh-sungguh dan serius meneliti. Sanksi hukum harus lebih diperberat, karena biasanya ada penipuan dan pemalsuan dokumen. Yang begitu jangan dikasih ampun, supaya mafia tanah ini jera,” jelas dia.
Selain itu, Barita mendesak penegak hukum supaya mafia tanah diberantas dari hulu ke hilir. Sebab, dia yakin kasus ini melibatkan suatu sindikat. "Para pemain itu sudah merekayasa dokumen-dokumen, seolah-olah pejabat-pejabat terkait hadir, tapi itu fiktif semua. Jadi permainannya tinggi," katanya.
Sementara Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan ATR/BPN, Agus Wijayanto mengatakan, menindak mafia tanah dengan cara menghukum sebetulnya untuk memberi efek jera, agar tidak main-main dengan pidana di pertanahan.
“Kita lebih ingin mencegah. Apakah kita akan berantas, iya dalam pengertian jika ada hal pengaduan kita akan tindak lanjuti. (Hukum berat) sesuai ketentuan KUHP saja,” jelas Agus.
Untuk diketahui, kasus pemalsuan sertifikat tanah di Cakung menyeret tiga orang tersangka yakni mantan juru ukur BPN Jakarta Timur Paryoto, Benny Tabalujan dan Achmad Djufri. Saat ini, Benny diduga berada di Australia dan masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).
Sedangkan, Djufri menjalani persidangan di PN Jakarta Timur dengan nomor perkara 993/Pid.B/2020/PN Jkt.Tim. Ia dituntut jaksa penuntut umum (JPU) selama 1 tahun 6 bulan, dan Paryoto sudah divonis bebas. Namun, jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dalam kasus mafia tanah di Cakung, tiga orang dijerat pasal pemalsuan surat akta autentik sebagaimana ketentuan Pasal 266 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 263 Ayat (1) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sebelumnya diberitakan, Komisioner Komisi Yudisial (KY), Amzulian Rifa’i mengatakan pihaknya tentu akan memberikan atensi terhadap kasus-kasus yang menjadi prioritas aparat penegak hukum, termasuk upaya memberantas mafia pertanahan.
Namun, kata dia, Komisi Yudisial juga memiliki keterbatasan untuk mengawasi semua persidangan. “Alternatifnya, jika memang ada kasus-kasus yang urgent untuk diawasi, masyarakat bisa mengajukan permintaan kepada KY untuk memantau jalannya persidangan kasus tersebut,” kata Amzulian.
Kasus dugaan mafia tanah di Cakung bermula ketika pelapor Abdul Halim hendak melakukan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) di BPN Jakarta Timur. Saat itu, Abdul Halim terkejut karena pihak BPN menyebut ada 38 sertifikat diatas tanah milik Abdul Halim serta nama PT. Salve Veritate, diketahui milik Benny Simon Tabalujan dan Achmad Djufri. (Ant)
Baca juga: IPW Desak Irjen Fadil Tangkap Buronan Mafia Tanah ke Australia