Demi Kedaulatan Digital Nasional, Anggota DPR Saran Ini ke Pemerintah

Tangkas berinternet bagi anak (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA – Pemerintah diminta menyiapkan penguatan regulasi layanan terkait keberadaan layanan over the top (OTT) global yang beroperasi di Indonesia. Pemerintah mesti tegas dalam urusan OTT ini.

Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin mengingatkan banyak keuntungan yang dilakukan OTT global ketika beroperasi di satu negara seperti Indonesia. Namun, jadi ironi bila merujuk kontribusi minim mereka untuk Indonesia.

Dia menyinggung OTT global bisa memunculkan praktik monopoli karena tak membayar pajak ke pemerintah Indonesia. Sementara, dengan market yang besar, Indonesia jadi incaran potensial.

"Mereka ini kan perusahaannya terdaftar dan bayar pajak di negara lain atau asalnya tapi beroperasi lintas negara. Dan, bisa jual konten iklan digital ke negara manapun. Buat Indonesia ini tak adil karena mereka jualan konten digital di kita tapi tak bayar pajak ke kita," ujar TB Hasanuddin, Kamis, 25 Februari 2021.

Dia menjelaskan aturan yang ada selama ini memang belum spesifikasi menyinggung keberadaan OTT. Bahkan, ia bilang cenderung luput dalam persoalan ini.

"Soal aturan OTT di kita belum ada, pengaturan layanan OTT selama ini memang masih luput, baik dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi maupun PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggara Telekomunikasi," jelasnya.

Meski demikian, ia masih optimis Pemerintahan Presiden Jokowi bisa merealisasikan kedaulatan digital nasional. Ia menyarankan agar ada aturan yang bisa dilihat oleh OTT.

"Saat ini, pemerintah sudah merampungkan Peraturan Pemerintah (PP 46 Tahun 2021 Tentang Postelsiar) sebagai aturan turunan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang salah satu poin utamanya adalah mengatur operasional OTT di Tanah Air," jelasnya.

Gus Yahya: Masyarakat Perlu Dengar Penjelasan Pemerintah soal PPN 12 Persen

Terkait aturan terhadap pelayanan OTT, pemerintah Australia belum lama ini melakukan terobosan. Meski jumlah penduduk tak sebesar Indonesia, Australia punya keseriusan dalam aturan menyangkut sepak terjang OTT seperti Facebook di negara mereka. 

Untuk diketahui, otoritas Australia menekan raksasa digital Facebook agar mau berbagi keuntungan dengan media lokal negeri Kanguru. Pun, demi menegakkan kedaulatan di bidang digital, pemerintah Australia mengesahkan undang-undang baru bernama News Media Bargaining Code Law.

Disahkan Pemerintah, Ini Struktur Kepengurusan PMI di Bawah Jusuf Kalla

Undang-undang tersebut menegaskan kewajiban bagi perusahaan teknologi seperti Facebook dan Google untuk membayar komisi kepada perusahaan media lokal, untuk setiap artikel berita yang muncul di cuplikan (snippet) dan tautan Google Search.

Dikutip dari laman livemint, parlemen Australia sudah mengesahkan undang-undang yang membuka jalan bagi Google dan Facebook untuk investasikan puluhan juta dolar dalam kesepakatan konten lokal.

Pemerintah Terapkan Kenaikan PPN 12 Persen dengan Asas Keadilan dan Gotong Royong

Dengan UU tersebut, maka raksasa teknologi diminta untuk membayar konten berita lokal. Sementara Google akan membayar konten berita yang muncul di produk showcase. Pun, Facebook diharapkan membayar penyedia mulai akhir tahun ini.
 

[dok. Jajaran Direksi dan Komisaris VIVA, saat menggelar public expose di Bakrie Tower, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin, 23 Desember 2024]

Catat Pertumbuhan Positif, VIVA Genjot Penguatan Lini Bisnis Digital

PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) dan PT Intermedia Capital Tbk (MDIA), menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Senin, 23 Desember 2024.

img_title
VIVA.co.id
23 Desember 2024