Instruksi Kapolri, Tersangka ITE Sudah Minta Maaf Jangan Ditahan

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
Sumber :
  • Divisi Humas Polri

VIVA – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang kesadaran budaya beretika untuk mewujudkan ruang digital Indonesia yang bersih, sehat dan produktif. Surat Edaran tersebut bernomor: SE/2/II/2021, tertanggal 19 Februari 2021.

Komjen Dedi Prasetyo Resmi Jabat Irwasum Polri, Komjen Chryshnanda Jadi Kalemdiklat

Kapolri mempertimbangkan perkembangan situasi nasional terkait penerapan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) yang dinilai kontradiktif dengan hak kebebasan berekspresi masyarakat melalui ruang digital.

"Diharapkan kepada seluruh anggota Polri berkomitmen menerapkan penegakan hukum yang dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat," kata Sigit dikutip dari Surat Edaran pada Senin, 22 Februari 2021.

BNI Lebih Dekat dengan Loyal Merchant Lewat "BNI Wonderful Movie Day 2024"

Dalam rangka penegakan hukum yang berkeadilan dimaskud, Sigit mengatakan Polri senantiasa mengedepankan edukasi dan langkah persuasif sehingga dapat menghindari adanya dugaan kriminalisasi terhadap orang yang dilaporkan serta dapat menjamin ruang digital Indonesia agar tetap bersih, sehat, beretika dan produktif.

Sigit mengingatkan seluruh penyidik Polri untuk memahami pedoman seperti mengikuti perkembangan pemanfaatan ruang digital yang terus berkembang dengan segala macam persoalannya.

Jangan Salah Paham! Ini Penjelasan Lengkap Crypto & Bitcoin (BTC) untuk Pemula

Selanjutnya, memahami budaya beretika yang terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan dampak yang terjadi di masyarakat. Kemudian kata dia penting mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui virtual police dan virtual alert.

"Tujuannya untuk memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari potensi tindak pidana siber," ujarnya.

Dalam menerima laporan dari masyarakat, Sigit mengatakan penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan, hoaks dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya menentukan langkah yang akan diambil.

"Sejak penerimaan laporan agar penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa untuk melaksanakan mediasi," jelas dia.

Di samping itu, Sigit mengatakan terhadap para pihak dan/atau korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi memecah belah, SARA, radikalisme dan separatisme.

"Korban yang tetap ingin perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali," katanya.

Lalu penyidik dalam melakukan kajian dan gelar perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan Bareskrim dan mengambil keputusan secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.

"Penyidik berprinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara," kata mantan Kepala Bareskrim Polri.

Sigit meminta penyidik agar berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum dalam pelaksanaannya, termasuk memberikan saran dalam hal pelaksanaan mediasi pada tingkat penuntutan.

"Agar dilakukan pengawasan secara berjenjang terhadap setiap langkah penyidikan yang diambil, dan memberikan reward serta punishment atas penilaian pimpinan secara berkelanjutan. Surat Edaran ini disampaikan untuk diikuti dan dipatuhi oleh seluruh anggota Polri," katanya.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya