4 Ibu dengan Balita Ditahan: Aparat Dianggap Gercep jika Kasus Kecil

Relawan dan pengacara kasus online shop yang menjerat warga di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Sumber :
  • VIVA/Satria Zulfikar

VIVA – Kepolisian Resor Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, lagi-lagi mendapat sorotan publik karena memroses pidana empat ibu rumah tangga (IRT) dalam kasus pelemparan atap berbahan spandek gudang pengolahan tembakau di Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah.

Saksi Ahli Dilibatkan dalam Perkara Said Didu Kritik PSN di PIK 2, Bakal jadi Tersangka?

Kasus itu merupakan kasus pelemparan spandek hingga penyok. Tidak ada kerusakan signifikan dari pelemparan yang dilakukan oleh empat IRT itu.

Pengacara Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram, Yan Mangandar Putra, menyoroti sikap aparat penegak hukum di Lombok Tengah yang cenderung reaktif alias gerak cepat (gercep) dalam menangani kasus kecil dan menjerat masyarakat kecil.

Said Didu Dicecar 25 Pertanyaan Dalam Pemeriksaan di Polresta Tangerang Terkait Kritik PSN PIK 2

Baca: Empat IRT dengan Dua Balita Ditahan karena Protes Pabrik Rokok

“Hal ini sudah kami pantau cukup lama. Seharusnya dari kasus empat IRT ini menjadi titik balik perbaikan peradilan di Lombok Tengah," katanya di Lombok Tengah, Senin, 22 Februari 2021.

Said Didu Diperiksa Polisi Buntut Kritik PSN PIK 2, Publik Diminta Hormati

Yan mengatakan, sisi kemanusiaan cenderung dihilangkan aparat dalam menangani kasus remeh seperti pada keempat IRT itu. Padahal, perbuatan yang dilakukan para terdakwa tidak berdampak luas terhadap kerusakan pabrik.

"Aparat penegak hukum terlihat tegas sekali kalau pelakunya berkaitan dengan rakyat kecil. Bahkan sisi kemanusiaan terkesan tidak ada," ujarnya.

Dia menduga, kurangnya pengawasan terhadap kinerja penyidik, penyidik pembantu hingga Kejaksaan membuat aparat leluasa untuk menghukum masyarakat kecil tanpa memandang sisi kemanusiaan.

"Penyebabnya mungkin pengawasan terhadap teman-teman APH (aparat penegak hukum) di Lombok Tengah kurang, sehingga beberapa oknum dalam melaksanakan tugas sangat tegas untuk rakyat kecil," katanya.

"Terkesan negara hadir untuk memberikan hukuman. Padahal, jika dilihat latar perjuangan mereka memang patut diperjuangkan," ujar pria yang pernah menjadi pengacara Baiq Nuril korban jeratan UU ITE itu.

Dia meminta agar pengawas penyidik di Polda maupun Kejaksaan agar memeriksa penyidik dari kasus itu. Apalagi, saat proses penyidikan dan pemeriksaan, keempat IRT tidak didampingi kuasa hukum. Padahal undang-undang mewajibkan mereka didampingi pengacara.

Kasus itu seharusnya dapat diselesaikan secara kekeluargaan sesuai konsep restorative justice. Namun pada faktanya, aparat hanya mementingkan penegakan hukum melalui pidana, dengan mengenyampingkan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dalam penelusuran perkara di Lombok Tengah, Polres Lombok Tengah dan Kejaksaan Negeri Praya sering menangani kasus yang tidak menyita perhatian. Itu karena kasus yang terlampau kecil dan seharusnya dapat diselesaikan secara mediasi.

Bahkan ada juga kasus seorang ibu yang ditahan bersama bayinya di Lombok Tengah dalam kasus perkelahian dengan tetangga. IRT yang berniat menagih utang pada tetangga, namun berujung perkelahian, dianggap sebagai perbuatan penganiayaan oleh aparat dan ditahan.

Kasus yang menyita perhatian lainnya seperti kasus dua warga Dusun Ujung Lauk, Desa Kuta, Lombok Tengah, yang ditetapkan tersangka lantaran memagari kawasan pembangunan sirkuit MotoGP di Mandalika.

Kedua orang yang jadi tersangka adalah Kepala Dusun Ujung Lauk Abdul Mutalib dan satu warga bernama Usman. Dua warga itu protes pembangunan sirkuit di lahan yang, menurut warga, adalah jalan dusun.

Uniknya, dua warga ditahan hanya berselang dua hari dari pemeriksaan mereka. Polisi melakukan pemeriksaan cepat. Meski demikian, pengadilan memutuskan tidak menahan mereka.

Kemudian kasus yang tidak kalah viral adalah kasus online shop. Pada pertengahan Februari 2020, dua wanita ditaha oleh Polres Lombok Tengah karena menjual produk kosmetik yang diduga ilegal. 

Kedua wanita membeli produk kosmetik dari online shop ternama di Indonesia. Dia kemudian menjualnya kembali ke masyarakat. Namun polisi menangkap mereka dan menyatakan produk yang dijual adalah ilegal dan tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Kosmetik yang dijual berupa 50 kotak krim malam merek YU CHUN MEI, 50 kotak krim siang merek YU CHUN MEI, 50 kotak kosmetik serum merek YU CHUN MEI dan 50 kotak produk sabun merek YU CHUN MEI.

Namun, pada persidangan dengan agenda eksepsi di Pengadilan Negeri Praya, Rabu, 4 Maret 2020, kuasa hukum HM mengatakan produk yang dijual HM ternyata telah terdaftar di BPOM.

Dalam penelusuran media ini di situs Cekbpom.pom.go.id, sebanyak lima produk YU CHUN MEI telah terdaftar BPOM.

Produk Pure Gold 24 K Serum terdaftar dengan nomor registrasi NA18191905994 pada 2 Oktober 2019. Produk Lightening Day Cream terdaftar dengan nomor registrasi NA18190122813 pada 12 Agustus 2019.

Kemudian, produk Lightening Night Cream terdaftar dengan nomor registrasi NA18190122279 pada 17 Juli 2019. Kemudian, produk Brightening Cleanser terdaftar dengan nomor registrasi NA18181206968 pada 5 November 2018.

Terakhir, produk Serum Whitening Essence terdaftar dengan nomor registrasi NA18181900943 pada 5 November 2018.

Seluruhnya merupakan produk dengan merek YU CHUN MEI yang didaftarkan oleh PT Cressindo Kusuma di Jakarta Utara.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya