Jusuf Kalla Sebut Demokrasi di RI Terlalu Mahal, Begini Maksudnya

Jusuf Kalla
Sumber :
  • VIVA/M Ali Wafa

VIVA – Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla menyampaikan pandangannya mengenai demokrasi di Indonesia. JK, akrabnya disapa, menanggapi penurunan indeks demokrasi sejak 14 tahun terakhir yang baru-baru ini dirilis lembaga bernama The Economist Intelligence Unit (EIU).

PAN Perintahkan DPW dan DPD Segera Gelar Muswil dan Musda

Menurut dia, kemerosotan penilaian itu bukan karena prinsip-prinsip demokrasi tidak dijalankan. Tapi lebih kepada pelaksanaannya yang membuat skor indeks Indonesia turun.

"Tentu ini bukan demokrasinya menurun, tapi apa yang kita lakukan dalam demokrasi itu. Tentu ada hal-hal objektif yang tidak sesuai dengan dasar-dasar demokrasi yang kita ketahui. Kita semua tahu dalam dasar demokrasi, bahwa warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat,” ucap Jusuf Kalla dalam acara Mimbar Demokrasi Kebangsaan yang digelar Fraksi PKS DPR RI secara virtual, Jumat 12 Februari 2021.

Prabowo: Kita Memiliki Demokrasi yang Hidup, Berjalan dan Dinamis

Baca juga: Moge Lolos Pemeriksaan Antigen, Bupati Bogor: Jangan Senang Dulu

Kalla juga menyindir pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Bagi mantan Ketua Umum Partai Golkar ini, masalah di Indonesia adalah 'mahalnya berdemokrasi'. Ia memberi contoh satu kasus bagaimana seseorang merogoh kocek cukup dalam demi memperebutkan satu kursi jadi wakil rakyat atau pejabat daerah.

Anggota Bawaslu: Efisiensi Tidak Membuat Rajawali Menjadi Burung Nuri

"Demokrasi kita terlalu mahal. Akhirnya, demokrasi tidak berjalan dengan baik. Untuk menjadi anggota DPR saja butuh berapa, menjadi Bupati dan menjadi calon pun butuh biaya. Karena demokrasi mahal, maka kemudian menimbulkan kebutuhan untuk pengembalian investasi. Maka di situ lah terjadinya menurunnya demokrasi. Kalau demokrasi menurun, maka korupsi juga naik. Itu lah yang terjadi," kata dia.

JK menegaskan, pentingnya prinsip check and balance dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Prinsip itu juga ditandainya kritik dari berbagai kalangan.

“PKS sebagai partai yang berdiri sebagai oposisi tentu mempunyai suatu kewajiban untuk melaksanakan kritik itu agar terjadi balancing, dan agar terjadi kontrol di pemerintah. Tanpa adanya kontrol, pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik.” ucapnya.

Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di KBRI Tokyo, Jepang

Bicara dari Tokyo, SBY Serukan Jaga Demokrasi dan Lawan Perusak Konstitusi

Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyoroti pentingnya menjaga nilai-nilai demokrasi dan melawan perusak konstitusi

img_title
VIVA.co.id
9 Maret 2025