Survei Indikator: 63,2 Persen Publik Ingin Pilkada di 2022-2023

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Lembaga survei Indikator Politik Indonesia, merilis hasil surveinya. Terkait dengan pelaksanaan pilkada, mayoritas publik ingin tetap digelar pada 2022-2023 yang daerah habis masa jabatannya di tahun tersebut. Bukan pada 2024 yang bersamaan dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Ridwan Kamil Ingin Buat Pasukan Tiga Rompi untuk Urus Masalah Banjir hingga Anak Jalanan di Jakarta

Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi mengatakan masyarakat kebanyakan ingin pelaksanaan pilkada dilakukan sesuai jadwal diawal yakni 2022 dan 2023. Keinginan itu berdasarkan hasil survei yang mereka lakukan. Yakni survei terkait Undang-undang Pemilu dan Pilkada sejak 1 sampai 3 Februari 2021. 

Di tengah situasi pandemi COVID-19, survei dilakukan dengan cara telepon kepada 1.200 responden. Sedangkan, metode yang dipakai simpel random sampling dan margin of error sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Putusan MK soal Hukuman bagi Aparat Tak Netral dalam Pilkada Kurang Berefek Jera, Kata Akademisi

Baca juga: Usai Vaksinasi, Nakes Terpapar COVID-19 di Jateng Turun Drastis

Burhanuddin mengatakan, masyarakat diberikan dua pendapat terkait pelaksanaan pemilu presiden, pemilu legislatif dan pilkada serentak dengan tidak serentak. 

Seminggu Jelang Masa Tenang, Elektabilitas Risma-Gus Hans Stagnan di 20,9% Versi Litbang Kompas

Pada umumnya, 63,2 persen menghendaki agar pemilihan presiden (pilpres) dan pemilu legislatif (pileg) yang digelar pada tahun 2024, dipisah waktunya dengan pilkada. 

"Pendapat pertama 28,9 persen pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota yang akan datang dilakukan bersamaan waktunya dengan pemilihan anggota DPR dan Pilpres. Pendapat kedua 63,2 persen pemilihan gubernur, bupati dan wali kota dilakukan berbeda waktunya dengan pemilihan anggota DPR dan Pilpres. Tidak tahu/tidak jawab 7,9 persen," jelas Burhanuddin melalui zoom meeting pada Senin, 8 Februari 2021.

Selanjutnya, dijelaskannya bahwa publik juga menginginkan pilkada tetap dilakukan pada 2022 dan 2023 sesuai dengan masa jabatan kepala daerah yang akan habis pada tahun tersebut. Gubernur DKI Anies Baswedan diantaranya yang masa jabatannya selesai 2022.

Jelas dia, sebanyak 54,8 persen masyarakat ingin pilkada dilakukan pada 2022 untuk daerah yang kepala daerahnya habis pada 2022.

"Hanya 31,5 persen yang ada sejumlah gubernur, bupati dan wali kota akan habis masa tugasnya pada tahun 2022 dan pemilihan kepala daerah tersebut harus dilakukan pada 2024, bersamaan dengan pemilihan anggota DPR dan pemilihan Presiden. Untuk sementara, gubernur bupati atau wali kota ditunjuk oleh pemerintah pusat bukan dipilih rakyat langsung. Tidak tahu/tidak jawab 13,7 persen," ujarnya.

Kemudian, kata dia, publik juga menginginkan agar pilkada diadakan pada 2023 yang kepala daerahnya habis masa jabatannya pada tersebut yakni sebanyak 53,7 persen. Hanya 32,4 persen yang ingin pemilihan kepala daerah pada 2024

"Tidak tahu/tidak jawab itu 14,0 persen," lanjutnya.

Bukan cuma itu, Burhanuddin mengatakan publik juga secara umum menginginkan pemilihan presiden dan anggota legislatif dilakukan terpisah yakni 54,3 persen. Sementara, publik yang ingin pemilihan anggota DPR dan pemilihan presiden dilakukan pada waktu bersamaan baik tanggal, bulan maupun tahun itu 36,2 persen. Sedangkan, tidak tahu/tidak jawab 9,5 persen.

Alasannya, kata dia, pengalaman pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 karena banyak petugas pemilu yang meninggal dunia akibat beban kerja yang berat sebanyak 68,4 persen, dan tidak setuju 31,6 persen. 

Selanjutnya, publik bisa memaklumi sebanyak 39,5 persen dan tidak bisa dimaklumi 59,9 persen. Sedangkan, tidak tahu/tidak jawab 0,6 persen.

Kemudian, Burhanuddin mengatakan sebanyak 71,8 persen publik menganggap pemilu dan pilkada serentak itu sebaiknya dihindari. Ada 23,9 persen tidak perlu dan tidak tahu/tidak jawab 4,4 persen. 

"Warga yang tahu banyaknya korban saat pelaksanaan pemilu 2019, umumnya tidak bisa menerima banyak korban tersebut (59,9 persen). Dan dari mereka yang tak menerima tersebut 71,8 persen menginginkan agar penyatuan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden dihindari," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya