Pakar Epidemiologi: Denda Pelanggar PPKM Harusnya Rp5-10 juta
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Epidemiologi mengimbau masyarakat terus meningkatkan sense of crisis atau kewaspadaan akan penyebaran kasus COVID-19 masih tinggi.
Epidemiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada dr Riris Andono Ahmad daalm keterangan pers di Jakarta, Senin, mengatakan kewaspadaan tinggi seharusnya bisa meminimalisir penyebaran virus, namun seiring berjalannya waktu kewaspadaan cenderung menurun.
"Dengan semakin bertambahnya waktu, sense of crisis akan semakin merendah, itu tidak selalu diingatkan, tentu juga akan hilang. Orang harus diingatkan ada konsekuensi dari setiap tindakannya," katanya.
Per Minggu, 31 Januari, total kasus positif COVID-19 di Indonesia sudah sebanyak 1.078.314. Menurut Riris, ketika transmisi virus tinggi, tidak bisa hanya bertumpu pada protokol kesehatan 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Riris mengibaratkan dengan hujan, ketika sudah sangat deras, maka orang yang menggunakan payung pun akan basah. Maka, katanya, jangan keluar agar tidak basah.
Menurut dia, protokol kesehatan 3M menjadi tidak memadai ketika kasus positif COVID-19 sedang tinggi-tingginya. Masyarakat wajib mengurangi mobilitas agar terhindar dari virus.
"Karena yang membuat virus menular kan mobilitas manusia. Semakin tinggi mobilitas, virus akan semakin bisa menular," katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan (LK2PK) dr Ardiansyah Bahar mendorong masyarakat agar mendukung semua kebijakan dari pemerintah dalam upaya mencegah penularan COVID-19.
"Sense of crisis tentu menjadi hal utama yang harus dimiliki oleh masyarakat mengingat kondisi pandemi yang belum berakhir, bahkan bisa dikatakan memburuk dengan semakin bertambahnya beban fasilitas pelayanan kesehatan dalam menangani pasien COVID-19," kata Ardiansyah.
Dia berpendapat, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) adalah upaya untuk mengurangi mobilisasi masyarakat.
"Apapun namanya, prinsip ini harus dilakukan agar mengurangi penularan di masyarakat," ungkapnya.
Bila kebijakan pembatasan mobilitas ini dijalankan dengan baik, ditambah program vaksinasi yang sukses, akan berdampak pada penurunan kasus, bahkan menghentikan.
"Tentunya harus didukung oleh kedisiplinan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan," kata Ardiansyah.
Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono menyarankan pemberlakuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sedang atau berat untuk mengendalikan kasus COVID-19.
Di berbagai daerah kata dia perlu ada check point, sehingga masyarakat yang keluar-masuk melalui pemeriksaan. Dia juga mengusulkan agar denda bagi pelanggar protokol kesehatan diperberat.
"Denda jangan tanggung-tanggung, Rp250 ribu tuh tanggung. Rp5 juta, Rp10 juta, seperti di Inggris semua masyarakatnya takut," ujarnya. (ant)