KPK: Partai Politik Masih Jadi Titik Pusat Korupsi

Gedung KPK
Sumber :
  • KPK.go.id

VIVA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai sistem politik yang dilaksanakan di Indonesia, terutamanya dalam tubuh partai politik, masih menjadi titik pusat atau episentrum persoalan korupsi di Tanah Air.

Mantan Penyidik KPK Sebut Kortas Tipidkor Dibentuk sebagai Komitmen Polri Berantas Korupsi

Berdasarkan kajian yang dilakukan KPK, sistem politik yang berjalan di Indonesia saat ini menjadi lahan subur bagi tumbuh kembangnya rasuah.

"Dari hasil studi dan penelitian KPK di sektor politik, episentrum korupsi di Indonesia adalah masih lemahnya sistem politik di Indonesia, khususnya partai politik. Sistem politik saat ini menjadi iklim yang subur bagi tumbuh dan berkembangnya politik yang koruptif," kata Plt Juru Bicara KPK, Ipi Maryati, Jumat, 29 Januari 2021.

Harvey Moeis Minta Hakim Kembalikan Aset Sandra Dewi yang Disita Kasus Korupsi Timah

Pernyataan ini disampaikan KPK menukil hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia, yang tahun ini hanya meraih skor 37 poin atau merosot tiga poin dibanding tahun sebelumnya yang meraih skor 40. 

Indonesia menempati peringkat 102 dari 180 negara yang disurvei Transparency International Indonesia (TII). Raihan skor dan peringkat ini, menempatkan Indonesia sejajar dengan negara Gambia dan bahkan di bawah Timor Leste yang meraih skor 40 dan berada pada peringkat 86. CPI 2020 menggunakan sembilan sumber data.

Prabowo Mau Maafkan Koruptor jika Kembalikan Uang Negara, Yusril Beri Penjelasan Hukumnya

Merosotnya IPK Indonesia tahun ini disumbang lima sumber data yang mengalami penurunan dibanding tahun lalu, yakni PRS International Country Risk Guide, IMD World Competitiveness Yearbook, Global Insight Country Risk Ratings, PERC Asia Risk Guide, dan Varieties of Democracy Project.

Tiga sumber data mengalami stagnasi, yakni World Economic Forum Eos, Bertelsmann Foundation Transformation Index, dan Economist Intelligence Unit Country Ratings.

Sementara hanya satu sumber data yang mendobrak kenaikan IPK Indonesia, yakni World Justice Project - Rule of Law Index.

Jika disederhanakan, sembilan sumber data itu dapat diklasifikasikan dalam tiga klaster besar, yakni sektor ekonomi dan investasi, sektor penegakan hukum, serta sektor politik dan demokrasi. 

Dari tiga klaster tersebut, sektor ekonomi dan investasi serta sektor politik dan demokrasi membuat IPK Indonesia menurun drastis dibanding tahun sebelumnya.

"KPK telah memberikan rekomendasi untuk perbaikan sistem politik, termasuk di dalamnya pembenahan partai politik," kata Ipi.

Demikian juga dalam upaya pencegahan korupsi di masa pandemi, sejalan dengan rekomendasi Transperancy International, KPK telah mendorong pentingnya penguatan peran dan fungsi lembaga-lembaga pengawas.

Salah satunya, lanjut Ipi, KPK mendorong pemberdayaan Aparatur Pengawas Intern Pemerintah (APIP). KPK merekomendasikan pemerintah untuk memastikan adanya kecukupan dan kompetensi sumber daya serta independensi APIP dalam menjalankan tugasnya.

"Dalam proses pengadaan barang dan jasa (PBJ), KPK juga telah menerbitkan panduan sebagai rambu untuk menghindari praktik mark-up, benturan kepentingan dan perbuatan curang lainnya, serta tidak memanfaatkan pelonggaran proses PBJ untuk korupsi," ujarnya.

Selain itu, kata Ipi, KPK juga mendorong praktik-praktik good governance yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dengan membuka data dan menyediakan saluran pengaduan masyarakat. 

Menurutnya, penerapan tata kelola pemerintahan yang baik secara konsisten diharapkan dapat meningkatkan kualitas manajemen ASN, efektivitas tata laksana, dan peningkatan kualitas pelayanan publik. "Serta meningkatkan akuntabilitas kinerja birokrasi seluruh instansi pemerintah," kata Ipi.

Ipi menambahkan, CPI ini menggambarkan Indonesia masih dipersepsikan sebagai negara korup yang tak serius dan tak konsisten memberantas korupsi. Untuk itu, persoalan korupsi harus menjadi perhatian serius seluruh pihak. Persoalan korupsi, tekan dia, tidak bisa diselesaikan hanya dengan jargon dan slogan, tetapi membutuhkan upaya nyata dan kolaboratif seluruh elemen bangsa.

"Karenanya, pemberantasan korupsi tidak boleh berhenti pada tataran jargon atau slogan semata. Demikian juga dengan sistem reformasi birokrasi jangan berhenti sebatas slogan atau tataran administratif belaka. Tanpa aksi kolaboratif antara negara dan masyarakat, serta seluruh elemen bangsa, maka korupsi di Indonesia sulit diatasi," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya