Pukat UGM: Pasal yang Bisa Jerat Iis Rosita Istri Edhy Prabowo
- Instagram @iisedhyprabowo
VIVA – Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menilai dugaan keterlibatan Iis Rosita Dewi, istri mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dalam kasus dugaan suap perizinan ekspor benih lobster patut ditindaklanjuti tim Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) di ranah penyidikan. Apalagi Iis Rosita juga saat ini masih berstatus sebagai anggota DPR RI.
“Dugaan keterlibatan istri EP ini harus ditindaklanjuti KPK secara mendalam. Kenapa? Karena status istri EP ini adalah seorang pejabat negara dalam hal ini adalah seorang anggota DPR,” kata Zaenur dihubungi awak media, Jumat, 29 Januari 2021.
Sebelumnya KPK menyatakan menemukan dugaan penerimaan aliran uang suap izin ekspor benur yang turut mengalir kepada Iis. Uang itu mengalir melalui anak buahnya.
“Nah jika ada dugaan Istri EP (Edhy Prabowo) ini menerima aliran, maka yang perlu didalami KPK adalah, pertama, apakah penerimaan tersebut terkait atau tidak terkait dengan jabatannya sebagai anggota DPR,” kata dia.
Kedua, kalaupun tidak terkait jabatannya sebagai anggota DPR, lanjut Zaenur, harus didalami ihwal perdagangan pengaruhnya. Sebab sudah beberapa perkara di KPK ada contohnya.
“Pun kalau tidak terkait, jika benar dugaan tersebut, karena yang bersangkutan merupakan angota DPR, menurut saya di situ ada peluang bagi KPK. Seperti halnya kasus yang menimpa misalnya LHI (Luthfi Hasan Ishaq) atau kasus IG (Irman Gusman) yang dimana pengaruhnya, kemudian seorang pejabat negara, meski bukan punya jabatan langsung berkaitan dengan urusan yang ditangani terkait kewenangannya. Tapi karena pengaruhnya itu menerima pemberian misalnya. Nah, itu harus didalami KPK,” kata Zaenur.
Apalagi merujuk konteks konvensi PBB, lembaga antirasuah sejatinya sudah pernah mengusut korupsi yang menggunakan perdagangan pengaruh yakni di kasus mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan mantan Ketua DPD RI Irman Gusman.
“Karena berdasarkan kasus yg pernah ditangani KPK, kasus Irman Gusman dan Lutfi Hasan, yang sebenarnya dalam konteks konvensi PBB adalah trading influence bisa dijerat soal suap atau gratifikasi. Nah tetapi ini kembali apakah benar soal adanya aliran tersebut, atau alirannya benar-benar hanya penerimaan atas nama EP, jadi sifatnya dia (Iis) hanya menerima,” kata Zaenur.
Kalau sifatnya hanya menerima, lanjut Zaenur, KPK pun harus melihat peluang, apakah Iis bisa dimintai pertanggungjawaban dengan menerapkan pasal suap atau gratifaksi atau pun TPPU.
“Yang jadi jadi concern di sini, istri EP ini adalah pejabat negara. Di mana di situ unsur yang bisa diarahkan ke bersangkutan karena pejabat negara dilarang menerima pemberian atas dasar apa pun. Tapi kalau itu pemberian dari suaminya secara langsung. Nah itu mungkin TPPU, tetapi kalau pemberian dari orang lain menurut saya bisa dilihat peluang dijerat suap atau gratifikasi,” kata Zaenur
Pukat UGM meminta agar KPK mendalami hal itu secara teliti. Sehingga bila benar ada penerimaan tersebut, pasal mana nantinya yang dapat diterapkan kepada Iis secara tepat.
“Jadi harus dilihat konsepsi hukumnya secara mendalam. Apakah pemberian suami maka dikejar TPPU, kalau pemberian orang lain meskipun tanda kutip jatah suaminya tapi diterima yang bersangkutan sedangkan yang bersangkutan merupakan anggota DPR, maka harus gunakan peluang gunakan pasal suap dan gratifikasi,” imbuhnya.
Pada kasus ini KPK baru menetapkan 7 tersangka. Enam orang diduga sebagai penerima suap, yakni mantan Menteri KKP Edhy Prabowo, Safri (SAF) selaku stafsus Menteri KKP, Andreau Pribadi Misanta (APM) selaku Stafsus Menteri KKP, Siswadi (SWD) selaku Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Ainul Faqih (AF) selaku Staf istri Menteri KKP, Amiril Mukminin selaku swasta (AM).
Sementara sebagai pihak pemberi, yaitu Suharjito (SJT) selaku Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP).
Baca juga: Korupsi Benur, KPK Sita Bukti Penting di Rumah Stafsus Edhy Prabowo