Legislator PDIP Blakblakan Bisnis Tes Swab Rumah Sakit di Jakarta
- VIVAnews/Tri Saputro
VIVA – Anggota Komisi IX DPR RI Ribka Tjiptaning buka-bukaan tentang praktik komersialisasi atau bisnis pemeriksaan COVID-19 seperti tes usap (swab) di sejumlah rumah sakit. Dia bercerita pengalamannya mendapati salah satu rumah sakit di Jakarta Pusat menawarkan beragam tarif tesa swab kepadanya.Â
Ia mengaku kesal karena uji usap pada rongga nasofaring itu sudah dikomersialkan sedemikain rupa. Dia menyebut satu rumah sakit swasta di Jakarta Pusat yang memasang tarif pemeriksaan swab Rp3,5 juta dengan hasil diketahui paling lama tiga hari dan Rp6,5 juta dengan hasil diketahui hanya sehari.
“Ini patokannnya emang lama pemeriksaannya, apa karena duitnya," tanya Ning saat rapat kerja dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 12 Januari 2020.Â
Baca: Apa Perbedaan Vaksin China Sinovac dan Sinopharm serta Merek Lain?
Tjiptaning mempersoalkan detail itu karena dia dahulu berprofesi dokter sehingga cukup tahu tentang dunia medis. Maka dia heran ketika mengetahui tarif tes swab begitu mahal dan bahkan dikomersialkan sedemikian rupa.
Menurutnya, seharusnya pemerintah menetapkan semacam tarif atas atau tarif tertinggi pemeriksaan swab di klinik atau di rumah sakit. Hal itu perlu diperhatikan agar kebutuhan medis masyarakat tidak menjadi ajang bisnis di kala pandemi. Sebab, ternyata ada satu klinik yang menetapkan tarif tes swab hanya Rp900 ribu.
Persoalan lain yang dia kurangnya tenaga kesehatan menangani pasien COVID. Ia mengaku dicurhati oleh salah satu Direktur Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, bahwa yang terjadi sekarang kekurangan tenaga perawat dan dokter. Keterisian tempat tidur di rumah sakit, katanya, sebenarnya masih bisa dimodifikasi.
Sejak lama, ia juga menyampaikan, protesnya terhadap banyaknya uji kompetensi dan magang bagi para dokter baru. Baginya, pengabdian atau kompetensi seorang dokter bukan dinilai dari secarik kertas sertifikat, tapi terus diuji berdasarkan pengalamannya menangani pasien.
"Sebetulnya itu direktur-direktur rumah sakit yang saya tahu—mungkin Prof Kadir (Dirjen Pelayanan Kesehatan) itu tahu dokter Loli Simanjuntak yang di Fatmawati—dia curhat sama saya. Sebetulnya, bukan bed-nya yang kurang, tapi SDM. Kita bisa bukakan ruang isolasi tapi mesti tarik (rekrut) perawat dari mana. Terus Direktur RSCM juga sama; perawatnya pada tumbang. Terus untuk apa itu 5.000 dokter lagi nunggu UKDI—internship," katanya.