Maklumat Kapolri tentang FPI, Pakar Hukum Sindir Pelibatan TNI
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Pakar hukum tata negara sekaligus pengamat politik Indonesia, Refly Harun, memberikan komentarnya terkait maklumat Kapolri yang bernomor Mak/1/1/ 2021 tentang kepatuhan terhadap larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI).
Maklumat tersebut dikeluarkan oleh Kapolri Jenderal Idham Azis pada 1 Januari 2020 didasari oleh Surat Keputusan Bersama yang ditandatangi oleh 6 pejabat tinggi negara.
Menanggapi maklumat Kapolri tersebut, Refly Harun melalui kanal youtube miliknya mengatakan, status FPI sama seperti PKI.
"Ini saya akan membacakan maklumat Kapolri, yaitu masyarakat tidak boleh mengakses, mengunggah, dan menyebarluaskan konten FPI. Wah, FPI sama seperti PKI statusnya sekarang, bahkan ketika HTI dibubarkan tidak seperti ini," ucap Refly Harun yang dikutip VIVA.
Refly yang juga mengutip pemberitaan dari media online berkomentar terkait fungsi TNI dalam penertiban simbol dan atribut FPI. Dalam maklumat Kapolri tersebut, kata Refly, dijelaskan bahwa Kepolisian mengedepankan Satpol PP yang didukung oleh TNI-Polri untuk penertiban simbol dan atribut FPI.
"Lagi-lagi TNI yang dilibatkan, padahal bukan tugas pokok dan fungsi TNI," ujar Refly.
Refly juga menyebutkan terkait keberatan dari komunitas pers terhadap maklumat Kapolri tersebut. Dia menanggapi keberatan komunitas pers terutama poin 2D dalam maklumat Kapolri yang melarang masyarakat mengakses mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI.
"Wah ini larangan di negara otoriter memang ya. Bagaimana mungkin kita mau bicara, membicarakan, memberitakan tentang FPI, misalnya FPI menggugat PTUN, masa kita tidak boleh siarkan, misalnya," ucap Refly.
Kapolri Jenderal Idham Azis disorot karena menerbitkan maklumat melarang masyarakat untuk mangakses dan menyebarluaskan konten Front Pembela Islam. Kritikan pun muncul sebagai respons maklumat tersebut.
Salah satu kritikan disuarakan politikus Partai Demokrat, Rachland Nashidik. Ia heran dengan diterbitkan maklumat kapolri karena baru mendengar istilah tersebut sejak jadi aktivis mahasiswa di era Orde Baru.
"Sejak melek politik, sebagai aktivis mahasiswa di masa Soeharto, baru kini saya mendengar "Maklumat Kapolri". Apakah isinya membatasi dengan sanksi hak asasi atas informasi?" demikian tulis Rachland di akun Twitternya, @RachlanNashidik yang dikutip VIVA, Minggu, 3 Januari 2021.