Polisi Minta Pers Tak Cemaskan Maklumat Kapolri soal Larangan FPI
- istimewa
VIVA – Polri merespons kritikan dari insan pers terkait penerbitan Maklumat Kapolri yang berisi pelarangan mengakses dan menyebarluaskan konten Front Pembela Islam (FPI). Polri mengklaim aktif mendukung kebebasan pers dalam menggali informasi dan mengedarkannya kepada masyarakat luas.Â
Kritikan tertuju terhadap salah satu poin maklumat tersebut, yakni poin 2d yang menyatakan masyarakat dilarang mengakses, mengunggah dan menyebarluaskan konten terkait FPI. Larangan ini baik melalui website maupun media sosial dianggap mengekang kebebasan pers.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Polri Irjen Argo Yuwono menepis dugaan mengekang kebebasan pers tersebut. Sebab, menurut dia, Polri selama ini menjadi lembaga negara yang terus mendukung kerja pers sesuai peraturan perundang-undangan.
Bahkan, Argo mengingatkan bahwa Polri dengan Dewan Pers telah menandatangani nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) terkait hal tersebut. Diketahui, MoU itu ditandatangani pada 9 Februari 2020.
"Polri selama ini menjadi institusi yang aktif mendukung kebebasan pers. MoU dengan Dewan Pers menjadi komitmen Kepolisian Republik Indonesia untuk tetap mendukung kerja teman-teman pers supaya bekerja sesuai undang-undang," ujar Argo, Minggu, 3 Januari 2021.
Argo menilai maklumat poin 2d tersebut tidak menyinggung media massa. Maka itu, sepanjang informasi yang dibuat sesuai dengan kode etik jurnalistik tak perlu mengkhawatirkan maklumat tersebut karena dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Dalam maklumat tersebut di poin 2d, tidak menyinggung media, sepanjang memenuhi kode etik jurnalistik, media dan penerbitan pers tak perlu risau karena dilindungi UU Pers, kebebasan berpendapat tetap mendapat jaminan konstitusional," tuturnya.
Dalam poin maklumat itu, Argo menekankan, yang dipersoalkan jika digunakan konten yang diproduksi dan disebarluaskan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945 dan ideologi negara pancasila. Selain itu, konten yang mengancam NKRI maupun Bhineka Tunggal Ika.
"Seperti mengadu domba, provocative, perpecahan dan SARA maka negara harus hadir untuk melakukan penindakan dan pencegahan. Selama konten yang diproduksi dan penyebarannya tidak bertentangan dengan sendi-sendi berbangsa dan bernegara, dapat dibenarkan," ujarnya.
Baca Juga: Politikus PD: Sejak Melek Politik, Baru Saya Dengar Maklumat Kapolri
Â