Refly Harun Kritik Pembubaran FPI: Bersikap Adil Tidak Mudah
- VIVA/Dhana Kencana
VIVA – Pakar hukum tata negara Refly Harun ikut menyoroti pembubaran dan larangan terhadap organisasi massa Front Pembela Islam (FPI). Keputusan ini dengan merujuk Surat Keputusan Bersama atau SKB yang diteken 6 pejabat menteri dan kepala lembaga.
Menurut Refly, terkait pembubaran FPI memang sulit bersikap adil terhadap kelompok yang memiliki aspirasi berbeda.
"Bersikap adil itu memang tidak mudah, satu. Yang kedua, bersikap adil itu memang tidak mudah, yang ketiga bersikap adil itu memang tidak mudah. Apalagi terhadap kelompok yang aspirasinya berbeda dengan kebetulan mereka yang sedang berkuasa," kata Refly di akun Youtubenya yang dikutip VIVA pada Kamis, 31 Desember 2020.
Dia bilang sikap FPI memang selalu berseberangan dengan pemerintah. Namun, ia heran mengapa harus ada SKB enam pejabat setingkat menteri dan kepala lembaga untuk urusan larangan FPI.
"Jadi, kita harus pahami bahwa FPI ini kelompok yang selalu kerap beda pendapat dengan pemerintah. Kalau enam yang begini, kenapa yang tak mengeluarkan keputusan presiden saja sekalian?" jelas Refly.
Dia menghormati adanya SKB larangan FPI. Ia pun mengkritisi soal alasan SKB tersebut terkait status FPI yang sudah tak terdaftar sebagai ormas di Kementerian Dalam Negeri.
Refly tak sependapat dengan diktum FPI tak terdaftar maka otomatis telah resmi bubar sebagai ormas.
"Menurut saya diktum satu memutuskan ini bermasalah dari sisi hukum, karena apa? Organisasi kemasyarakatan itu eksisistensinya itu tidak tergantung terhadap pendaftaran. Tidak terdaftarnya sebuah organisasi kemasyarakatan tidak berarti organisasi itu bubar secara de jure,” tutur Refly.
Menurutnya, berbeda jika suatu ormas itu membubarkan diri atau dibubarkan dan dilarang pemerintah.
"Jadi, kalau dikatakan tanggal 20 Juni 2019 belum mendapat perpanjangan izin surat SKT, maka sesungguhnya itu tak menentukan eksistensi organisasi ini secara de jure," jelas Refly.
Dia menambahkan dalam eksistensi ormas itu tak bergantung terhadap pendaftaran. Sebab, jika bergantung terhadap pendaftaran maka akan terjadi hal luar biasa yang nanti pemerintah bisa menentukan mana ormas yang bisa bertahan dan mana yang tidak.
Refly menekankan hal itu justru bertentangan dengan konstitusi terkait hak berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara lisan maupun tulisan.
"Sekali lagi, menurut saya tidak benar bahwa secara de jure, FPI bubar sejak tanggal 20 Juni 2019 ketika surat keterangan terdaftar mereka sudah berakhir dan belum dikeluarkan yang baru. Itu tidak menentukan eksistensi sebuah organisasi," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers mengumumkan larangan semua aktivitas FPI. Keputusan ini merujuk SKB yang diteken enam pejabat menteri dan kepala lembaga negara.
"Pelanggaran kegiatan FPI ini dituangkan dalam keputusan bersama enam pejabat tertinggi di kementerian dan lembaga," kata Mahfud di kantornya, Rabu, 30 Desember 2020.
Adapun enam pejabat yang meneken SKB tersebut adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Jaksa Agung Burhanuddin, Kapolri Idham Azis, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Pol Boy Rafli Amar.
Terkait SKB ini, rencananya FPI akan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). FPI menilai SKB ini tak sesuai dengan konstitusi dan melanggar hukum.
Baca Juga: FPI Jadi Front Persatuan Islam, Munarman: Sudah Lama Kita Antisipasi