Heboh Parodi Lagu Indonesia Raya, Hikmahanto: Jangan Terprovokasi
- ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
VIVA – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, ikut angkat bicara terkait lagu kebangsaan Indonesia Raya yang diparodikan. Video yang mengejek Indonesia itu di-upload oleh akun youtube MY Asean yang menggunakan foto profil bendera Malaysia.
“Saat ini masyarakat Indonesia sebaiknya tidak terprovokasi,” katanya, Senin 28 Desember 2020.
Belum diketahui secara pasti siapa pemilik akun tersebut. Untuk itu, Hikmahanto meminta kasus ini sebaiknya diserahkan kepada otoritas Malaysia untuk menyelidiki.
"Untuk bekerja menyelidiki apakah pihak yang bertanggung jawab adalah warga Malaysia atau pihak-pihak yang berada di Malaysia," kata dia.
Akademisi yang juga menjabat sebagai Rektor Univeristas Jenderal A Yani itu mengungkapkan segala sesuatu masih harus diselidiki. Mulai dari kewarganegaraan si pelaku, keberadaannya, hingga motif memparodikan lagu Indonesia Raya.
Ia menjelaskan, di era sosial media saat ini siapa saja dapat memperolok-olok Kepala Negara, Negara, bahkan Simbol Negara. Mengingat peng-upload-an parodi lagu Indonesia Raya diduga berada di luar Indonesia, maka aparat penegak hukum Indonesia tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penydikan.
“Namun, Pemerintah Malaysia melalui Kedubesnya di Jakarta telah membuat pernyataan. Intinya bahwa Pemerintah Malaysia sudah mengetahui tindakan meng-upload parodi Indonesia Raya di Malaysia,” ujarnya.
Hikmahanto menyebut, Pemerintah Malaysia sedang menyelidiki tindakan tersebut, dan bila pelakunya adalah warga negara Malaysia maka terhadap pelaku tersebut akan dikenai sanksi yang tegas.
“Bahkan pemerintah Malaysia telah mengutuk tindakan tersebut yang dapat mengganggu hubungan antar kedua negara,” ucapnya.
Dia menilai, apa yang disampaikan oleh Kedutaan Besar Malaysia sudah memadai, dan Pemerintah Indonesia tidak perlu melakukan respons berlebihan.
“Perlu dipahami bahwa peng-upload parodi lagu Indonesia Raya tidaklah dilakukan oleh pejabat Malaysia. Ini berbeda dengan tindakan baru-baru ini oleh agen intelijen Jerman yang mengunjungi markas FPI,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Hikmahanto, Kementerian Luar Negeri tidak perlu memanggil Duta Besar (Dubes) Malaysia, bahkan meminta untuk melakukan klarifikasi.
“Di era sosial media kerap terjadi pelaku yang menghina pejabat, merendahkan simbol negara, bahkan mencaci maki kebijakan. Bila ditangkap maka mereka akan meminta maaf dan menangis-nangis,” katanya.
Artinya, lanjut Hikmahanto, keberanian di dunia maya pelaku tidak berbanding lurus dengan keberanian di dunia nyata. Oleh karena itu, saat ini yang terpenting bagi masyarakat Indonesia adalah memberikan ruang dan waktu bagi otoritas Malaysia untuk bekerja.
“Otoritas Malaysia harus mampu mengungkap pelaku dan bila ada di Malaysia mengenakan sanksi. Dengan demikian, tidak ada pembiaran oleh Pemerintah Malaysia atas tindakan provokatif ini,” ujarnya. (ren)