Kaleidoskop 2020: Anak dan Mantu Jokowi Moncer di Pilkada

Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa daftar ke KPU Surakarta jelang Pilkada 2020.
Sumber :
  • VIVA / Fajar Sodik (Solo)

VIVA –  Pilkada 2020 jadi momen bersejarah dalam politik nasional karena dihelat di tengah pandemi COVID-19. Sempat tertunda, akhirnya tahapan dilanjutkan dengan agenda terpenting pemungutan suara pada 9 Desember 2020.

Relawan AAJ Sowan ke Jokowi, Tegaskan Tidak Bicara Politik

Sebanyak 270 daerah sudah menghelat pemilihan kepala daerah secara serentak. Rincian 270 daerah itu terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Dibandingkan dengan tiga pilkada serentak sebelumnya, untuk perhelatan 2020 merupakan yang terbanyak dari jumlah wilayah. Hanya selisih satu daerah dengan pilkada serentak gelombang pertama pada 2015. 

Peluang Jokowi Gabung ke Partai Selepas PDIP: Belum Konkrit, Belum Ada Tawaran Posisi Strategis

Saat Pilkada 2015, ada 269 daerah dengan rincian 9 provinsi, 6 kota, dan 224 kabupaten.

Digelar di tengah pandemi, pilkada kali ini disorot. Suara kritis dari akademisi sampai pemerhati pemilu meminta agar pilkada serentak gelombang empat ini sebaiknya ditunda karena berpotensi memunculkan klaster penularan COVID-19.

DPR Akan Kaji Usulan Pemilu Nasional dan Lokal tapi Tidak Sekarang

Namun, keputusan politik yang disahkan DPR dan pemerintah dalam rapat kerja pada 21 September 2020 menetapkan tahapan pilkada yang sempat ditunda tiga jadi lanjut. Awalnya pemungutan suara digelar pada 23 September 2020. Tapi, jadwal itu diundur karena pandemi.

Sesuai keputusan DPR-Pemerintah, pencoblosan akhirnya diketuk dan ditetapkan 9 Desember 2020. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 pun diterbitkan demi mendukung kelanjutan pelaksanaan pilkada.

Dengan PKPU itu diharapkan jadi acuan semua pihak termasuk pasangan calon (paslon) peserta pilkada untuk menjalankan protokol kesehatan atau proses. Beberapa aturan pendukung disiapkan.

Photo :
  • VIVA/Muhamad Solihin

Aman tapi Minus

Proses pilkada di tengah pandemi ini secara keselurahan dinilai berjalan aman. Tahapan pemungutan suara sampai rekapitulasi berjalan lancar. Namun, memberikan citra minus karena banyak pelanggaran prokes.

Pelanggaran seperti saat hari pendaftaran, penetapan paslon sampai momen kampanye. Tapi, yang dipersoalkan salah satunya saat kerumunan massa pendukung paslon pada pendaftaran pada 4-6 September 2020. 

Kerumunan massa tersebut melanggar prokes. Tanpa jaga jarak, abai memakai masker, mereba berkerumun antar paslon ke kantor KPU daerah.

Pun, saat tahapan kampanye yang memiliki waktu panjang selama 71 hari yaitu dari 26 September sampai 5 Desember 2020. Lagi-lagi banyak pelanggaran terjadi. 

Selama kampanye, banyak paslon yang abai terhadap proses. Imbauan KPU agar kampanye secara daring tak digubris. Paslon cenderung lebih suka kampanye tatap muka.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menyampaikan terdapat 1.520 kasus pelanggaran selama masa kampanye Pilkada 2020. Tapi, Mahfud mengklaim pelanggaran yang terjadi masih skala kecil dan tak memunculkan klaster baru.

"Semuanya berjalan dengan baik, pelanggaran yang kecil-kecil sudah diperingatkan," ujar Mahfud dalam keterangan resminya, Sabtu 5 Desember 2020.

Kekhawatiran akan ancaman COVID-19 akhirnya terjadi. Sejumlah petugas penyelenggara pemilu terpapar virus tersebut. Bahkan, sekelas Ketua KPU Arief Budiman juga tertular.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komaruddin menilai pilkada menuai sorotan. Selain banjir pelanggaran, pihak yang terpapar COVID-19 juga merembet ke paslon. 

"Ditambah lagi para calon kepala daerah. Bukan saja terinfeksi Corona. Tapi, juga ada yang meninggal di hari H pencoblosan," ujar Ujang kepada VIVA, Minggu, 20 Desember 2020.

Photo :
  • ANTARA FOTO/R. Rekotomo

Politik Dinasti

Catatan lain dari Pilkada 2020 yaitu menjamurnya politik dinasti. Fenomena politik dinasti tahun ini melonjak dibandingkan 2015.

Ujang menyoroti praktik ini karena peran partai politik jadi pertanyaan. Tujuan pilkada yang seharusnya untuk mencetak kepala daerah berkualitas malah meleset. "Alih-alih partai politik menghadirkan calon kepala daerah yang berprestasi, justru yang terjadi menghadirkan pemaksaan akan hadirnya politik dinasti," jelas Ujang.

Politik dinasti mencuat karena adanya anggota keluarga Presiden Jokowi yang bersaing di Pilkada 2020. Begitupun dengan keluarga Ma'ruf Amin.

Seperti diketahui, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai Calon Wali Kota Solo. Berpasangan dengan Teguh Prakosa, Gibran memenangkan kursi Wali Kota Solo dengan meraih 225.451 suara atau 86,5 persen.

Lawan Gibran-Teguh yaitu pasangan Bagyo Wahyono-FX Supardjo (Bajo) hanya memperoleh 33.055 suara atau 13,5 persen. Data itu merujuk hasil rekapitulasi KPU Solo.

Baca Juga: Anak Ma'ruf Amin Sudah Akui Kalah di Pilkada Tangsel

Selain itu, ada menantu Jokowi, Bobby Nasution yang berkontestasi di Pilkada Kota Medan. Bobby menggandeng Aulia Rachman untuk bersaing melawan paslon Akhyar Nasution-Salman Alfarisi. Hasil rekapitulasi KPU Medan, menetapkan Bobby-Aulia memperoleh 393.327 suara atau 53,45  persen dari suara sah. Sementara, lawannya Akhyar-Salman hanya mendapat 342.580 suara atau 46,55 persen. 

Namun, hasil berbeda dialami putri Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah yang kalah di Pilkada Kota Tangerang Selatan. Siti berpasangan dengan Ruhamaben meraih 134.682 suara. Pun, pemenang di Pilkada Kota Tangsel adalah Benyamin Davnie-Pilar Saga Ichsan.

Untuk Pilar Saga Ichsan diketahui anak dari calon Bupati Serang Petahana, Ratu Tatu Chasanah. Sementara, Ratu Tatu adalah adik kandung dari eks Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.

Lalu, ada nama lain yaitu Rahayu Saraswati yang merupakan calon Wakil Wali Kota Tangsel nomor urut 01. Saras merupakan keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Selain itu, dinasti politik juga merujuk Pilkada Kabupaten Kediri. Calon Bupati Hanindhito Himawan Pramana adalah putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung.


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya