KY Minta Indonesia Contoh Jepang dalam Penegakan Hukum
- Google Map
VIVA – Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menegaskan, pemberantasan korupsi sebagai salah satu bentuk extraordinary crime tidak bisa dilakukan setengah-tengah. Penanganannya bukan hanya merupakan tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penegak hukum. Tapi juga memerlukan peran serta masyarakat.
Demikian diungkapkan Jaja menanggapi Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang diperingati setiap tanggal 9 Desember.
"KY berkomitmen penuh ikut serta dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Penegakan hukum juga harus benar-benar ditegakkan sebagai upaya mengembalikan kepercayaan publik. KY juga akan melakukan berbagai upaya untuk pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi," kata Jaja dalam siaran pers diterima VIVA, Kamis, 10 Desember 2020.
Baca juga: KPK Bantah Terbitkan Sprindik Tetapkan Erick Thohir Tersangka
Menurut Jaja, upaya pencegahan yang dilakukan KY sebagai lembaga yang berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan hakim, yaitu dengan melakukan penguatan etika kepada para hakim melalui serangkaian pelatihan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), sehingga mencegah praktik judicial corruption. Namun, lanjutnya, pembekalan pengetahuan hukum positif dan etika tidaklah cukup, perlu adanya reorientasi budaya yang sebetulnya sudah ada dalam masyarakat.
Menurutnya, Indonesia harus berkaca dari Jepang yang sukses menciptakan “panopticon” jiwa, yaitu sebuah model pendisiplinan (istilah awalnya digunakan M. Foucault) yang mencoba membangkitkan mentalitas yang terkontrol, terkoreksi dengan memaksimalkan unsur-unsur dalam sistem budayanya. Sehingga tidak menghilangkan kreativitas penegakan hukum.
"Sudah saatnya kita membangun “panopticon jiwa” bagi penegak hukum Indonesia, yang dilandasi nilai-nilai luhur budaya kita, sehingga diharapkan terbentuk mentalitas atau moralitas luhur penegak hukum. Kita tetap harus optimis meski panopticon jiwa itu tidak mudah untuk dibentuk. Namun kita percaya bahwa pada hakikatnya manusia sebagai penegak hukum bukan semata-mata robot atau mesin tidak punya rasa, melainkan agen kebudayaan," tutur Jaja.
Dalam catatan KY, sepanjang Januari sampai dengan November 2020 telah menerima 2.139 laporan. Terdiri atas 1.265 laporan masyarakat yang disampaikan ke KY dan 874 surat tembusan.
Berdasarkan jenis perkara, jenis perkara perdata mendominasi laporan yang masuk ke KY, yaitu 585 laporan. Untuk perkara pidana berada di bawahnya dengan jumlah laporan 329 laporan.
"Selain itu, ada juga pengaduan terkait perkara tata usaha negara sebanyak 70 laporan, agama sebanyak 64 laporan, tipikor 57 laporan. Perkara tipikor masuk lima besar perkara yang banyak dilaporkan ke KY," kata Jaja.
Berdasar jenis badan peradilan yang dilaporkan, laporan terhadap peradilan umum sangat mendominasi, yaitu sebanyak 898 laporan. Kemudian lainnya, yaitu peradilan agama sebanyak 87 laporan, Mahkamah Agung sebanyak 72 laporan, peradilan tata usaha negara 61 laporan, peradilan niaga 44 laporan, dan peradilan tipikor sebanyak 40 laporan. Ada juga peradilan hubungan industrial dan militer.
“Setelah dilakukan pemeriksaan dan sidang pleno oleh anggota KY, terdapat 60 putusan yang terbukti melanggar KEPPH dengan 122 hakim diberikan usul penjatuhan sanksi,” kata Jaja.
Hakim yang terbukti melanggar KEPPH diberikan sanksi sesuai pelanggaran yang dilakukan. Jaja memperinci, yaitu 78 hakim dijatuhi sanksi ringan, 39 hakim dijatuhi sanksi sedang, dan 5 hakim dijatuhi sanksi berat.
Dari hakim yang direkomendasikan sanksi oleh KY, ada empat hakim yang melakukan pelanggaran karena suap. Satu orang hakim dijatuhi sanksi sedang berupa nonpalu selama enam bulan dan telah ditindaklanjuti oleh MA. "Sementara tiga rekomendasi lainnya masih dalam minutasi di KY," imbuhnya.