KPK Kritik MA Potong Hukuman Koruptor Suami Inneke Koesherawati
- ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
VIVA – Mahkamah Agung (MA) kembali memotong hukuman bagi terdakwa kasus korupsi. Kali ini pengusaha Fahmi Darmawansyah, yang juga suami artis Inneke Koesherawati, dipotong masa hukumannya, dari 3,5 tahun menjadi 1,5 tahun penjara. Hal itu berdasarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara suap kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Wahid Husein.
"Menyatakan terpidana Fahmi Darmawansyah telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Menjatuhkan pidana kepada terpidana dengan pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan dan pidana denda sebesar Rp100 juta yang bila tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 6 bulan," demikian putusan PK Fahmi sebagaimana putusan Mahkamah Agung.
Vonis PK itu dijatuhkan oleh majelis hakim PK yang terdiri dari Salman Luthan selaku Ketua Majelis, Abdul Latif dan Sofyan Sitompul masing-masing selaku Anggota Majelis.
Putusan PK itu mengurangi vonis 3,5 tahun penjara ditambah denda Rp100 juta subsidaire 4 bulan kurungan yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Bandung pada 20 Maret 2020.
Dalam perkara itu, Fahmi dianggap terbukti secara sah dan meyakinkan memberikan kepada Wahid Husen selaku penyelenggara negara yaitu berupa uang servis mobil, uang menjamu tamu Lapas, hadiah ulang tahun berupa tas clucth bag merek Louis Vuitton untuk atasan Wahid Husen, sepasang sepatu sandal merek Kenzo untuk istri Wahid Husen senilai Rp39,5 juta serta mobil jenis double 4x4 merek Mitsubishi Triton warna hitam seharga Rp427 juta.
Hadiah-hadiah tersebut diberikan Fahmi karena ia mendapat renovasi sel miliknya dengan uang sendiri.
Menanggapi itu, pihak komisi antirasuah mengaku tetap menghormati putusan majelis hakim. Namun KPK menilai putusan itu bak telah mengaburkan esensi penjeraan atas koruptor.
“Sekalipun putusan hakim haruslah tetap kita hormati, namun di tengah publik yang saat ini sedang bersemangat dalam upaya pembebasan negeri ini dari korupsi, penggunaan terminologi kedermawanan dalam putusan tersebut mengaburkan esensi makna dari sifat kedermawanan itu sendiri,” kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri kepada awak media, Rabu 9 Desember 2020.
Menurut Ali, segala tindakan yang dilakukan oleh Fahmi dengan memberikan sesuatu kepada penyelengga negara dengan tujuan tertentu adalah kejahatan sehingga tak dapat dipandang sebuah kedermawanan.
“Pemberian sesuatu kepada penyelenggara negara atau pun pegawai negeri karena kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki si penerima sedangkan si pemberi ada kepentingan di baliknya tentu itu perbuatan tercela. Bahkan dalam konteks penegakan hukum hal tersebut dapat masuk kategori suap atau setidaknya bagian dari gratifikasi yang tentu ada ancaman pidananya,” imbuh Plt Jubir KPK itu. (ren)