Logo BBC

Pro-kontra Ancaman Hukuman Mati Kasus Korupsi Anggaran Pandemi

Menteri Sosial Juliari P Batubara berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Minggu (06/12).-ANTARA FOTO
Menteri Sosial Juliari P Batubara berjalan menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Minggu (06/12).-ANTARA FOTO
Sumber :
  • bbc

Ancaman hukuman mati terhadap pejabat yang diduga menyelewengkan dana bantuan sosial pandemi Covid-19 memicu pro-kontra usai Menteri Sosial Juliari Batubara ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi tersangka.

Jika ditemukan bukti kuat, kata mantan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Asep Iwan Irawan, terdapat konstruksi hukum yang memungkinkan Juliari dan empat tersangka lainnya dijatuhi hukuman mati.

Menurut Asep hukuman itu layak dijatuhkan, karena dilakukan saat pandemi dan resesi, terlebih peringatan telah diutarakan Presiden Joko Widodo dan pimpinan KPK.

Namun pegiat anti korupsi dan kelompok masyarakat sipil menyebut hukuman mati tak semestinya dijatuhkan.

Pemenjaraan dan perampasan aset dianggap lebih efektif, termasuk memanfaatkan para pelaku untuk mengungkap pihak lain yang turut menikmati uang haram.

Bisakah Juliari dijerat pasal hukuman mati?

KPK menjerat Mensos Juliari Batubara dengan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a dan b UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Pasal tentang suap itu memuat ancaman hukuman penjara antara satu hingga 20 tahun.

Adapun ancaman hukuman mati tertera di pasal 2 ayat (2). Aturannya, setiap orang yang dalam keadaan tertentu memperkaya diri sendiri atau orang lain sehingga merugikan keuangan negara dapat dijatuhi pidana mati.

Bekas hakim Tipikor, Asep Iwan Iriawan, menganggap wajar KPK menggunakan pasal suap pada awal pengusutan kasus dana bansos Covid-19 ini.

Namun dalam proses pengembangan perkara, kata Asep, KPK harus menjerat Juliari dan pelaku lain dengan pasal 2 ayat (2).

Alasannya, perkara ini memenuhi klausul adanya kerugian negara dan dilakukan dalam kondisi bahaya, bencana alam nasional atau krisis ekonomi.

"Sekarang kan sedang pandemi, jadi yang dirugikan bukan hanya negara dalam konteks struktur tapi masyarakat," kata Asep via telepon, Senin (07/12).

"Orang-orang depresi sampai ada yang mati karena pandemi. Negara mengeluarkan uang untuk menanggulangi ini. Ketika diselewengkan, kerugiannya justru lebih parah.

"Negara pasti rugi kalau dia ambil Rp10.000 dari setiap paket bansos. Ini nampak dan sederhana sekali untuk dibuktikan. Bencana ini cakupannya dunia dan Indonesia juga sedang mengalami resesi," ujar Asep.

Bagaimana buktikan tersangka koruptor rugikan keuangan negara?

Harus ada hitung-hitungan yang rinci oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kata Kurnia Ramadhana, peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW).

Kurnia berkata, proses itu biasanya terjadi dalam tahap penyidikan. Prosesnya sangat panjang, kata dia.

"Pada kasus korupsi e-KTP ada mark-up (penggelembungan harga) dan fee (upah) tertentu yang membuat kualitas barang dan jasa menurun. Kualitas yang tidak sama dengan itu menimbulkan kerugian negara," ujarnya.

"Pada operasi tangkap tangan sudah pasti terkait suap. Kerugian negara biasanya muncul dalam case building," kata Kurnia.

Mengapa belum pernah ada koruptor dana bencana yang divonis mati?

Dua faktor yang disebut Asep Iriawan adalah penafsiran pasal dan keberanian penegak hukum.

Namun menurutnya, dari penyidik, jaksa hingga hakim tak perlu ragu-ragu dalam menghukum para pelaku dalam kasus bansos Covid-19.

Asep khawatir kepercayaan publik pada KPK dan pengadilan akan semakin luntur jika hukuman berat tak dijatuhkan kepada pelaku kasus ini.

"Mungkin karena nilai kerugian kasus-kasus sebelumnya kecil dan cakupan bencananya lokal. Kalau sekarang diputus seperti itu, di mana rasa keadilannya?

"Pandemi ini dari urusan depresi sampai mati. Presiden dan KPK juga sudah ingatkan berkali-kali. Kalau tidak ada hukuman maksimal, rakyat pasti akan masa bodoh pada penegakan hukum," ujar Asep.

Sepanjang 2004 hingga 2018, setidaknya telah terjadi 11 kasus dana bantuan bencana. Tak satu pun pelaku dijatuhi hukuman mati.

Terkait tsunami Aceh tahun 2004 misalnya, Sekjen Kementerian Luar Negeri kala itu, Sudjadnan Parnohadiningrat, dihukum penjara 2 tahun 6 bulan.

Sudjanan divonis merugikan negara hingga Rp11 miliar karena menyelewengkan dana perhelatan Tsunami Summit, konferensi internasional yang membahas tanggap darurat, rekonstruksi dan mitigasi bencana.

Sementara pada bencana gempa dan tsunami Nias tahun 2005, Binahati Banedictus Baeha yang kala itu menjabat bupati, divonis bersalah. Korupsinya merugikan negara Rp3,7 miliar.

Hukuman mati pada kasus bansos Covid-19, menurut Asep, dapat diterapkan jika KPK segera membawa perkara ini ke meja hijau.

"Supaya hakim merasakan nuansanya. Beberapa hakim juga meninggal karena Covid-19. Kalau penanganannya lama, nuansa pandemi sudah tidak ada. Nanti larinya ke pasal suap lagi," kata Asep.

Tapi kenapa vonis mati ini ditentang?

Merujuk pengalaman di negara lain, peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menyebut hukuman mati terbukti tidak menimbulkan efek jera.

Kurnia berkata, negara yang menerapkan hukuman mati meraih skor rendah dalam indeks persepsi korupsinya. Contoh yang dia sebut adalah China dan Iran, yang peringkatnya bahkan berada di bawah Indonesia.

Menurut Kurnia, opsi yang lebih baik adalah pidana penjara dan perampasan aset pelaku. Sayangnya, kata dia, dua jenis hukuman ini tidak diterapkan secara maksimal.

"Pidana penjara kami kritik karena rata-rata hukuman yang dijatuhkan pada semester pertama 2020 hanya 3 tahun penjara. Tidak mungkin ada efek jera jika hukumannya segitu.

"Kerugian negara dan uang pengganti yang diputus hakim juga jauh dari maksimal. Selama Januari-Juni lalu, kerugian negara sekitar Rp35 triliun, tapi uang penggantinya hanya Rp2,3 triliun," ujar Kurnia.

Adakah solusi lain?

Iftita Sari, peneliti Institute for Criminal Justice Reform, menyarankan upaya pencegahan seperti perbaikan sistem dan mekanisme pengawasan.

Menurutnya, pencegahan terbukti gagal karena dua menteri sosial sebelum Juliari juga terbukti melakukan korupsi dan suap.

Idrus Marham pada tahun 2019 divonis bersalah pada kasus korupsi pembanguan PLTU Riau. Sementara Menteri Sosial periode 2001-2009, Bachtiar Chamsyah, tersandung kasus korupsi pengadaan sarung, sapi, dan mesin jahit.

"Korupsi tidak selesai dengan penegakan hukum, harus ada perbaikan sistem pemerintahan untuk menutup celah korupsi," tuturnya.

Selain itu, ketimbang menghukum mati, penegak hukum disebutnya bisa menggandeng pelaku korupsi untuk mengungkap skandal serta pihak lain yang menikmati uang negara secara ilegal.

"Penegak hukum bisa menggandeng para tersangka untuk menelusuri pihak lain yang terkait kasus mereka. Banyak kasus korupsi yang tidak sampai menjerat master mind, itulah yang mesti dikejar," ujar Iftita.

"Mereka bisa dimanfaatkan untuk membuka seluruh kasus sehingga akhirnya terang sampai ke akar korupsi dan pelaku lainnya. Itu yang lebih genting ketimbang menjatuhkan hukuman seberat-beratnya," ucapnya.

Apa tanggapan KPK?

Ketua KPK, Firli Bahuri, berkata pihaknya akan mencari peluang menjerat Juliari serta para pelaku lain dengan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor yang memuat ancaman hukuman mati.

Tentu kita akan dalami terkait dengan apakah Pasal 2 itu bisa kita buktikan, terkait dengan pengadaan barang dan jasa," kata Firli kepada pers di Jakarta, Minggu (06/12).

Sebelum munculnya kasus bansos, Firli berkata bahwa "korupsi pada situasi bencana Covid-19 termasuk kejahatan berat". Para pelakunya, kata dia, dapat diancam hukuman mati.

Juni lalu, Menko Polhukam, Mahfud MD, juga berkata agar anggaran negara untuk pandemi ini tidak diselewengkan.

"Jika ada pihak yang terbukti melakukan penyalahgunaan anggaran bencana, maka bisa dihukum mati," kata Mahfud.

Presiden Jokowi juga pernah bertutur perihal ini. "Penerapan aturan hukuman mati untuk koruptor dapat diterapkan apabila ada kehendak yang kuat dari masyarakat," katanya, Desember 2019.