UGM: Selama 10 Tahun, 356 Orang di Papua Tewas Akibat Kekerasan

Asap hitam dari aksi pembakaran terlihat dalam kerusuhan di Wamena, Papua (23 September 2019)
Sumber :
  • istimewa

VIVA - Universitas Gadjah Mada (UGM) melakukan penelitian terhadap kekerasan di Papua. Dari hasil penelitian ini, peneliti UGM menemukan sejak 2010 hingga Mei 2020, tercatat ada 204 kasus kekerasan dengan korban meninggal dunia sebanyak 356 orang.

Pelanggaran HAM di Papua, Sebuah Luka yang Menuntut Keadilan

Peneliti di Gugus Tugas Papua UGM Gabriel Lele menjelaskan tim UGM menemukan 204 tindak kekerasan di Provinsi Papua dan Papua Barat selama 2010 sampai Mei 2020. Dari kasus kekerasan itu, lebih dari setengahnya dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

“Kami ingin memetakan kasus kekerasan di Papua polanya seperti apa. Konfliknya multidimensi. Tidak hanya secara vertikal, tapi tidak sedikit yang berupa kekerasan horizontal,” ujar Gabriel saat dihubungi wartawan.

Massa Serang Aparat di Dogiyai Papua Tengah, 3 Polisi Terluka Kena Panah-Rumah Dibakar

Baca juga: Polisi Tangkap 36 Orang Buntut Kerusuhan di Sorong dan Manokwari

Gabriel menuturkan jika tim peneliti melakukan penelusuran di lapangan maupun riset media lokal. Dari penelusuran itu, pihaknya menemukan jika kasus kekerasan yakni sebanyak 118 kasus dilakukan oleh KKB. Sementara itu, 42 kasus oleh warga, 28 kasus oleh TNI-Polri, dan 16 kasus oleh orang tak dikenal.

Politikus Golkar Heran Jokowi Sering ke Papua Tapi Gejolak Makin Panas

Dosen Fisipol UGM ini merinci bahwa kasus kekerasan itu mengakibatkan 1.869 orang menjadi korban. Dari angka tersebut, 356 orang meninggal dunia.

Dari 356 orang meninggal ini, 250 orang adalah warga sipil, 46 personel TNI, 34 polisi, dan 26 anggota KKB. Gabriel menjabarkan bahwa dari rincian itu diketahui 70 persen korban meninggal dunia adalah warga sipil.

Gabriel memaparkan di tahun 2017, korban mencapai jumlah terbanyak yakni 635 orang. Adapun pada 2019, korban jiwa mencapai angka tertinggi yakni 250 orang. Sebagian besar daerah yang mengalami tindak kekerasan di wilayah pegunungan Papua, dengan kasus tertinggi di Kabupaten Puncak Jaya, Mimika, dan Nduga.

Gabriel menuturkan jika dari riset UGM menunjukkan jika 64 persen motif tindakan kekerasan terkait gerakan separatis. Selain itu, ada motif politik pada 11 persen kasus, balas dendam 10 persen, pemerkosaan dan ekonomi masing-masing dua persen.

"Pemerintah telah menempuh sejumlah pendekatan agar kekerasan di Papua tak terulang. Pendekatan keamanan secara tradisional seperti mengerahkan pasukan tak lagi jadi pilihan. Tapi pendekatan yang menjawab kebutuhan masyarakat agar bisa berubah. Kesehatan, pendidikan, ekonomi diperbaiki,” kata Gabriel.

"Hanya saja, sekelompok orang terutama KKB, tak peduli dengan langkah pemerintah. Mereka harus didekati secara kultural dan dialog. Di titik ini, pemerintah tidak bisa jalan sendiri. Tokoh agama dan masyarakat harus dirangkul,” lanjut Gabriel.

Gabriel menyebut dua langkah itu menjadi upaya penanganan kekerasan vertikal di Papua. Adapun kekerasan horizontal diselesaikan melalui transformasi nilai konflik yang mencuat saat momen tertentu, seperti Pilkada.

“Kami melakukan advokasi ke Pemda bagaimana nilai kekerasan secara kultural itu ditransformasi ke nilai yang lebih damai,” urai Gabriel.

Gabriel menambahkan jika temuan riset ini akan terus diperbarui dan menjadi bekal bagi pemerintah dan Pemda untuk meretas jalan damai di Papua.

“Satu kasus saja bisa membuat buyar berbagai terobosan positif pemerintah. Banyak capaian pembangunan kalah gaungnya dengan satu kasus kekerasan,” kata Gabriel.

Sementara itu, salah seorang generasi muda Papua, Hemi Enumbi mengatakan bahwa harapan untuk Papua damai pun harus terus disuarakan.

“Papua yang damai itu sudah menjadi harapan yang melekat di diri kita sebagai manusia,” kata Hemi.

Mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta ini menjabarkan jika banyak hal harus dibenahi oleh pemerintah daerah dan diperlukan interaksi yang baik oleh warga di sana yang beragam. Hemi meyakini jika kondisi di Papua masih bisa dibenahi. Salah satunya dengan jalur pendidikan.

“Kejadian-kejadian di Papua adalah kurang pemimpin yang bijak dan kurangnya pemahaman kepada masyarakat Papua. Jadi intinya kembali ke pendidikan karena dari pendidikan itu bisa membawa Papua bisa lebih maju dan bisa hidup dengan damai,” tutur Hemi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya