Kemendagri Minta Daerah Tak Bikin Aturan yang Beratkan Masyarakat
- vivanews/Andry Daud
VIVA - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) meminta kepala daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tidak membuat peraturan yang memberatkan masyarakat dengan banyaknya Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup) dan Peraturan Walikota (Perwali). DPRD pun diminta berkoordinasi dengan kepala daerah terkait penyusunan peraturan.
Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal Kemendagri, Muhammad Hudori, dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI), Senin 23 November 2020.
Baca juga: Ada UU Ciptaker, Daerah Diminta Tak Buat Aturan yang Persulit Usaha
Hudori meminta konsepsi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di daerah juga harus mudah dipahami. Sehingga tidak menimbulkan birokrasi yang berbelit dan beban administrasi bagi publik atau masyarakat.
"Dalam rangka percepatan perizinan berusaha untuk peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha di daerah, perlu dilakukan penyederhanaan terkait jenis dan prosedur perizinan," kata Hudori.
Terkait perizinan berusaha, Hudori menambahkan, di saat pandemi ini banyak warga negara yang menganggur sebagai imbas dari pemutusan hubungan kerja. Karena itu, pemerintah berupaya membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya, salah satunya melalui Undang-Undang Cipta Kerja.
"Undang-Undang Cipta Kerja ini sebetulnya bertujuan untuk mendorong upaya penyiapan lapangan kerja bagi para pencari kerja dan pengangguran," ujar Hudori.
"Kemudian menata agar birokrasi yang berbelit menjadi tidak berbelit-belit, waktu proses penerbitan izin bisa menjadi lebih cepat dan biaya pengurusan pun dapat ditekan. Maka dari itu perlu dilakukan penyederhanaan," tambah dia.
Dia juga berharap DPRD dengan pemerintah daerah mengimplementasikan dan mensosialisasikan secara masif tujuan dan niat baik adanya Undang-undang Cipta Kerja kepada masyarakat.
"Undang-Undang Cipta Kerja itu kalau dilihat ujungnya justru banyak menguntungkan. Cuma persoalannya ini banyak berita yang tidak tepat atau hoax, sehingga orang tidak bisa memastikan mana draf asli, mana draf palsu," kata Hudori. (ren)