Jenderal Doni Monardo Singgung Lagi Masyarakat Tolak Tes COVID
- Instagram/@bnpb_indonesia
VIVA – Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Letjen TNI Doni Monardo, menyinggung masalah tracing penyebaran COVID-19. Itu dilakukan, agar bisa diketahui lebih awal apakah orang tersebut terpapar atau tidak. Walau dalam keadaan sehat, karena banyak pasien COVID adalah mereka yang orang tanpa gejala atau OTG.
Doni juga sempat menyinggung, upaya tracing kasus COVID-19 di Petamburan Jakarta, mendapat penolakan. Yakni pihak keluarga Habib Rizieq, yang disebut pernah memiliki kontak dengan Lurah Petamburan yang kini positif COVID-19.
"Jadi tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menolak pelacakan kontak, penanganan kesehatan adalah sebuah kerja kemanusiaan. Tenaga kesehatan hendak memastikan gejala sakit dikenali lebih awal dan demikian juga dengan riwayat kontak pasien. Semakin cepat diketahui, penularan lebih luas bisa dicegah karena memang mayoritas penderita COVID-19 adalah orang tanpa gejala,” kata Doni Monardo dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, 22 November 2020.
Baca juga: Doni Monardo: Satgas COVID-19 Dihalangi Lakukan Tracing di Petamburan
Kata Doni, titik paling krusial saat ini dalam memperkecil risiko kematian akibat COVID-19 dengan menjaga agar pasien tidak berpindah fase atau kategori sakit, dan sedapat mungkin tetap dengan gejala ringan sehingga lebih mudah disembuhkan.
“Ini adalah prioritas dokter dan tenaga kesehatan sekarang, apalagi dalam seminggu terakhir tingkat penularan cenderung meningkat,” katanya.
Kasus baru COVID-19 di Indonesia pada Sabtu, 21 November 2020 mencatat peningkatan sebesar 4.998 kasus dalam sehari. DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi tertinggi penyumbang kasus yakni mencapai 1.579 atau 31,6 persen dari kasus nasional, menyusul berbagai kasus kerumunan di wilayah ini.
“Total pasien meninggal sebanyak 15.774 orang, bertambah 96 orang dibandingkan total pasien meninggal sehari sebelumnya. Di seluruh dunia, pasien meninggal telah mencapai 1,39 juta jiwa,” ujarnya.
Mantan komandan Paspampres itu menambahkan, salah satu cara memutus mata rantai penularan adalah dengan melakukan pemeriksaan, pelacakan dan perawatan yang tepat kepada pasien yang tertular. Namun, pemeriksaan dan pelacakan ternyata tidak mudah dilakukan karena terjadi penolakan di masyarakat.
Dia menduga fenomena ini terjadi karena di masyarakat masih berkembang stigma negatif bagi penderita COVID-19, masyarakat takut divonis tertular.
“Padahal, masyarakat tak perlu takut karena mayoritas penderita COVID-19 sembuh. Di Indonesia sekarang angka kesembuhan telah menembus 83,9 persen dari kasus aktif, jauh di atas kesembuhan dunia yang di level 69 persen,” jelasnya.
Saat ini, Satgas Penanganan COVID-19 bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan daerah, telah menurunkan lebih dari 5.000 relawan pelacak kontak (tracer) untuk melakukan deteksi awal penularan di 10 prioritas. Namun upaya melakukan pelacakan ternyata tidak mudah, karena sebagian masyarakat menolak untuk diperiksa.
Sedangkan, Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan COVID-19 Alexander K Gintings menambahkan, timnya saat ini sedang berada di lapangan untuk melakukan penelusuran kontak erat pasien.
“Para pelacak kontak ini yang kini tengah mengalami persinggungan dengan masyarakat untuk memutus rantai penularan,” kata Alexander K Gintings.
Ia menegaskan, bahwa gerakan kesehatan untuk menanggulangi COVID-19 adalah sebuah gerakan kemasyarakatan non partisan, untuk kemanusiaan, non diskriminatif dan pro terhadap kehidupan.
“Ini yang perlu ditanamkan sehingga masyarakat tidak perlu resisten agar anggota di lapangan bekerja aman dan nyaman dan tidak dicurigai,” katanya.
Alex menambahkan, semua pihak berjuang memutuskan rantai penularan dengan menerapkan protokol kesehatan. Namun, kita juga perlu tim pendukung yaitu tim pelacak kontak dari Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan Satgas Penanganan COVID-19.
“Jadi tim pelacak kontak adalah sahabat masyarakat yang menolong saya, keluarga, dan sahabat-sahabat semua dari rantai penularan COVID-19,” tuturnya.