Pengungsi Syiah Sampang Mencari Jalan Pulang
- bbc
Mayat saja "diharamkan", apalagi yang hidup
Di luar rusun, ada seorang pengungsi yang mengatakan tetap pada ajaran Syiah.
Pengungsi itu, Putra (bukan nama sebenarnya) memutuskan untuk tetap pada keyakinannya karena mengatakan agama adalah pilihan pribadi dan tidak bisa dicampuri orang lain, termasuk Tajul Muluk.
Putra menceritakan bahwa luka para pengungsi terus digores tanpa henti hingga sekarang.
Satu pengalaman menyakitkan yang tidak bisa dilupakan oleh Putra dari banyak luka-luka lain - yang kata Rohman dan Tajul telah sembuh- yaitu ketika para penyintas yang meninggal dalam pengungsian dianggap "haram" dikuburkan di kampung halaman.
"Apa yang ditakuti dari mayat, makhluk tidak bernyawa? Apa dosanya mayat? Tidak akan itu merusak orang kampung. Apa kalau dikuburkan kemudian mereka semua akan berubah keyakinan? Tidak mungkin itu," kata Putra.
Terdapat sekitar lima orang penyintas yang meninggal dalam pengungsian dan ditolak dikuburkan di kampung halaman.
Di antara mereka termasuk ibu Tajul Muluk, Umah binti Marzuki, yang akhirnya dikubur di kampung halamannya di Bangkalan pada awal tahun ini, terpisah dari suaminya yang dikubur di Sampang.
Akhirnya, banyak dari pengungsi yang meninggal dikuburkan di pemakaman umum di Sidoarjo, seperti Busidin, Kuriyah binti Syafi`i dan Syaiful Ulum.
Pada penghujung hidup, mereka memohon untuk dikuburkan bersampingan dengan makam keluarga dan nenek moyangnya di kampung, cerita Putra.
"Saya bisa membayangkan sebegitu bencinya mereka ke kami yang masih hidup, yang sudah jadi mayat saja tidak diterima," katanya.
"Menyakitkannya lagi, pemerintah dan aparat keamanan selalu diam, kalah dan membiarkan itu dengan alasan mencegah bentrokan, sangat tidak masuk akal," katanya.
Kejadian seperti itu kembali terjadi baru-baru ini.
Berdasarkan informasi dari seorang penyintas di Jawa Timur, pekan lalu, seorang warga kampung meninggal saat mengunjungi keluarganya yang mengungsi di rusun Sidoarjo.
Saat ingin dibawa pulang ke kampung untuk dikuburkan, masyarakat menolak karena jenazah itu dianggap telah menjadi bagian dari Syiah.
Bupati Slamet Junaidi disebut turun tangan menyelesaikan persoalan ini, hingga akhirnya jenazah diperbolehkan untuk dikuburkan di kampung - walaupun di lokasi tertentu dan dilarang di pemakaman umum warga.
Skenario "alamiah"
Putra menyebut, terdapat campur tangan Pemerintah Kabupaten Sampang dalam apa yang ia sebut "skenario alamiah" kembali ke Suni.
Putra menceritakan, pada 10 September lalu, Tajul Muluk dan penyintas rusun mengirimkan surat permohonan ke Pemkab Sampang yang isinya menyatakan mereka kembali ke Suni dengan sadar dan minta difasilitasi proses pembaiatannya.
"Tapi, tiga bulan sebelumnya, Pemkab Sampang telah terlibat dalam pemindahan anak-anak rusun dari lembaga pendidikan Syiah ke Suni, bahkan melibatkan jenderal bintang dua yang memindahkan dan mengantar ke sana," katanya.
Artinya, kata Putra mencoba mengambil kesimpulan, pemerintah sudah tahu dan terlibat dari awal.
"Surat itu hanya skenario, dan dikonstruksikan seolah-olah alamiah. Padahal semua langkah diambil di rusun, para pemangku kebijakan sudah tahu dari awal," katanya.