Pengungsi Syiah Sampang Mencari Jalan Pulang
- bbc
Suara gemuruh mesin, dan parang yang memecah kulit kelapa cukup mengganggu ketika kami berusaha bertanya kepada mereka.
Namun mereka memalingkan muka dan tidak menjawab ketika disapa dan ditanya.
Hal yang sama juga terjadi di rusun, saat kami menyapa dan bertanya pada para ibu yang tengah menemani anaknya bermain di halaman rusun, atau anak muda yang bermain bola, mereka memalingkan muka dan menjauh.
Aktivis perdamaian dari The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Siti Hanifah, menyebut sikap tertutup para pengungsi kemungkinan disebabkan beberapa faktor, yaitu budaya Madura yang tertutup pada orang luar, dan perintah Tajul Muluk.
Salah seorang di antara mereka, Rohman yang juga koordinator para pengupas kelapa, akhirnya mau berbicara atas atas izin Tajul Muluk.
Rohman menceritakan, dalam sehari mereka mampu mengupas 200-400 butir kelapa (Rp150 per butir) - dengan rata-rata pendapatan sekitar Rp40.000-60.000
Pendapatan ini membantu mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, walaupun telah mendapat bantuan jaminan hidup (jadup) sebesar Rp709.000 per bulan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur.
"Tidak cukup [jadup], kerja ini buat tambahan sehari-hari, tidak ada kerjaan lain, mau tidak mau," kata Rohman yang telah mengikuti Tajul Muluk sejak 2004 lalu.
"Kami mau pulang"
Rohman merasa tidak bahagia tinggal di rusun dan merasa sedih ketika anaknya bertanya, "Kapan bisa pulang? Saya tidak tahu Madura. Saya tidak bisa jawab itu," katanya.
Pada penyerangan delapan tahun lalu, rumah Rohman habis dibakar. Seorang anggota keluarganya mengalami luka-luka.
Memori kekerasan itu telah hilang dan Rohman telah memaafkan para pelaku.
"Saya sudah memaafkan semuanya, karena mereka saudara kami," kata Rohman yang memutuskan ikut Tajul Muluk kembali ke Suni dan menyebut tanpa ada paksaan.
Berkali-kali Rohman menyatakan keinginannya untuk dapat pulang kampung.
"Saya ingin pulang ke Madura, ke tempat nenek moyang saya. Hidup tenang di sana, rukun lagi dengan saudara dan teman di sana. Semoga mereka menerima dan kami saling memaafkan," harapnya.
"Dulu kan kami tidak boleh pulang karena Syiah, sekarang kembali Aswaja, masa dianukan [ditolak] lagi begini," katanya.
"Luka lama sulit disembuhkan"
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, PCNU Sampang, Muhammad Itqon Busiri
Ketika BBC News Indonesia datang ke Sampang, Madura, ada beberapa sikap yang berbeda menanggapi keinginan Tajul Muluk dan pengikutnya pulang kampung. Salah satunya dari Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama, PCNU Sampang, Muhammad Itqon Busiri.
Ia mengatakan luka lama itu sulit sekali disembuhkan, dan para ulama tidak bisa berpihak ke Tajul Muluk atau ke penduduk setempat.
Alasannya karena "tradisi yang ada di daerah sana dianggap salah oleh Tajul Muluk dan pengikutnya. Padahal tradisi itu sudah terjadi sejak zaman dahulu, ini yang kemudian memicu konflik," katanya.
Untuk itu, belajar dari peristiwa Tajul Muluk, Itqon meminta seluruh masyarakat memupuk rasa toleransi dengan menahan diri untuk tidak saling mengejek dan merendahkan, walaupun bertentangan.