Pengungsi Syiah Sampang Mencari Jalan Pulang
- bbc
Keputusan sepihak
Informasi yang diperoleh BBC News Indonesia mereka yang tetap pada keyakinan Syiah antara tujuh hingga delapan keluarga.
Melalui sambungan telepon, salah seorang yang menyatakan tetap berpegang pada ajaran Syiah, mengatakan, keputusan kembali ke Suni diambil oleh Tajul Muluk secara sepihak, tanpa melibatkan seluruh pengungsi.
"Tiba-tiba ritual salat berbeda, walaupun pelan-pelan. Ini menimbulkan kebingungan, dan kami tidak diajak bicara. Tiba-tiba dikasih surat mau ke Suni atau tidak," katanya.
Ia menganggap bahwa proses kembali ke Suni merupakan bagian dari program untuk dapat pulang kampung ke Sampang.
"UUD kalah dengan massa"
Berkaca dari apa yang dialami, Tajul Muluk tidak menyalahkan pemerintah pusat hingga daerah atas nasib yang mereka alami. Menurutnya, pemerintah telah melaksanakan fungsinya secara maksimal.
"Tidak mungkin pemerintah memaksakan kehendak melawan arus mayoritas karena itu akan menimbulkan konflik yang jauh lebih besar lagi, saya memahami itu," katanya.
Tajul mengatakan, sejak dua tahun terakhir, Pemkab Sampang di bawah kepemimpinan Bupati Slamet Junaidi selalu hadir meninjau kondisi dan memberikan bantuan kepada pengungsi.
"Sebetulnya kalau [pemerintah] mau memulangkan bisa saja, tetapi tidak ada jaminan keamanan setelah itu, kalau akar permasalahannya tidak diselesaikan. Makanya dilematis mereka, dan pilihan terbaik akhirnya pemerintah meletakkan kami di sini karena mereka juga tidak mendapatkan jalan keluar," katanya.
Tajul menambahkan, Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia memang secara tegas memberikan perlindungan - khususnya Pasal 29 menyebut bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu -, tapi aturan itu akan selalu kalah di sepanjang sejarah Indonesia kepada kekuatan massa.
"Jadi kekuatan massa itu yang menentukan, bukan UU. Jadi itu keterpaksaan (pemerintah) mengikuti kemauan massa untuk mencegah masalah yang lebih besar. Ditambah, di Madura ini susah karena mereka masih konservatif pemikirannya," kata Tajul Muluk.
Berdasarkan penelitian Setara Institute -lembaga pegiat hak asasi manusia - dari November 2014 hingga Oktober 2019, telah terjadi 846 insiden pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan dengan 1.060 tindakan.
Penganut Syiah merupakah salah satu kelompok minoritas yang jadi korban. Selain mereka, terdata juga kelompok Ahmadiyah, aliran keagamaan, dan umat Kristiani sebagai korban.
Pelanggaran ini didominasi oleh aktor non-negara seperti kelompok warga, dan organisasi massa keagamaan.
Selain Sampang, di Lombok, beberapa keluarga penganut Ahmadiyah juga terusir dari kampung halaman pada tahun 2018 dan hidup dalam pengungsian hingga sekarang.
Di akhir wawancara, Tajul menyampaikan pesan tersiratnya.
"Kami terusir karena keluar dari Suni, ketika kami kembali ke Suni, maka tidak ada alasan bagi kami tidak bisa pulang ke Madura. Saya yakin para kyai dan masyarakat di sana akan menerima dan menyambut kami".
Bergantung pada kelapa
Kami lalu menemui pengungsi Syiah lainnya di tempat mereka bekerja, sekitar satu kilometer dari rumah susun. Ada sekitar 30 orang di sana.
Mayoritas pengungsi - yang berusia senja - tengah mengupas kulit kelapa.