Pengungsi Syiah Sampang Mencari Jalan Pulang
- bbc
"Kami hanya sebatas hidup di sini, sama seperti imigran yang sebelah. Cuma pergi ke pasar untuk bekerja, habis itu pulang, kumpul-kumpul antar sesama pengungsi. Tidak ada pergaulan dengan orang luar. Merasa diasingkan sih ada, cuma mau bagaimana lagi," kata Tajul Muluk sore itu saat berbincang dengan kami di pelataran lantai empat rusun yang dijadikan tempat salat dan berkumpul para pengungsi.
Tajul Muluk mengungkapkan rasa lelahnya dalam menjalani hidup di keterasingan.
Ia merindukan masa lalu ketika kebersamaan dan silaturahmi dengan warga kampungnya di Sampang, Madura, terjalin baik.
"Setiap orang pasti rindu kampung halamannya. Rindu atas rasa kemerdekaan dan hidup secara merdeka. Kalau di sini, kami seperti dipenjarakan sebetulnya, cuma kami mau bagaimana lagi, kami harus bersabar karena ini bagian dari ujian," ujar Tajul.
Ia pun berharap agar kondisi dapat kembali normal seperti dulu.
"Silaturahmi yang terputus bisa tersambung kembali dan kami diakui sebagai warga Sampang dan juga bisa kembali ke kampung," kata Tajul.
Tajul Muluk: Saya Suni dan luka lalu itu telah sembuh
Kehidupan di rumah susun bermula dari kerusuhan di kampung halamannya, yang berawal karena penentangan warga atas keyakinannya, Syiah.
Di penghujung akhir tahun 2011, sekelompok massa membakar rumah dan pesantren Tajul Muluk - yang tersisa hanya bangunan 4x5 meter yang ditempati ibu, istri dan anaknya.
Tidak berhenti, serangan kembali terjadi pada Agustus 2012. Ratusan rumah dibakar, puluhan orang terluka dan seorang pengikut Tajul tewas.
Ratusan warga Syiah terusir dari kampung halamannya.
Mereka tinggal sembilan bulan di gedung olah raga Sampang, lalu dipindahkan ke Rusunawa Sidoarjo sampai sekarang.
Sementara Tajul Muluk menjalani proses hukum, ia dipidana empat tahun penjara atas dakwaan "penistaan agama".
Tajul mengatakan, perjalanan hidup dan luka kekerasan masa lalu itu telah sembuh.
Ia mengklaim tidak ada lagi rasa sakit dan dendam di hati.
"Kami menyadari mengapa mereka melakukan itu, dan tidak ada dendam sama sekali," katanya, dengan (ekspresi wajah tenang)
Bertahun-tahun hidup dalam pengungsian, pada pertengahan Maret tahun ini, Tajul Muluk menyatakan kembali ke ajaran Suni - keyakinan yang dipeluk mayoritas masyarakat Madura dan juga Indonesia.
"Keputusan ini bukan karena putus asa, bosan, stres, tapi murni karena fatwa Majelis Ulama benar adanya dan dampak sosial yang kami alami juga bukti bahwa apa yang kami jalankan tidak membawa berkah dalam hidup, sehingga kami harus menghadapi ujian seperti ini, kami terusir dari kampung," katanya.
Kemudian, pada 10 September lalu, Tajul Muluk mengirim surat bermaterai kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sampang, berisi permohonan baiat kembali ke Suni
Dengan tegas Tajul juga menyatakan, tidak ada tekanan dari pihak manapun atas keputusannya dan ia juga tidak memaksa pengikutnya untuk kembali ke Suni.
"Yang tidak setuju dengan saya silakan tetap dengan keyakinan kalian. Andaikan kalian semua yang di rusun tidak ikut [kembali ke Suni], saya tetap mundur dan kembali ke Suni.
"Tapi, tentunya setelah kalian memilih tetap di Syiah berarti bukan tanggung jawab kami dalam urusan apapun, kalian harus bisa mengatasi sendiri, tidak bisa mengadu ke saya lagi. Sama ketika saya tetap bertahan di Syiah. Saya menerima semua konsekuensinya, saya masuk penjara, saya jadi pengungsi," kata pria kelahiran tahun 1973 ini.
Tajul Muluk menyatakan terdapat lebih dari 300 orang penyintas dewasa yang berkomitmen akan kembali ke Suni, dan menyebut terdapat beberapa keluarga yang tetap di Syiah.