Pengungsi Syiah Sampang Mencari Jalan Pulang
- bbc
Selama hampir delapan tahun, sekitar 350 orang pengungsi Syiah yang terusir dari kampung halaman mereka di Sampang, Madura, merasa hidup dalam "keterasingan" dan seolah "dipenjara" di rumah susun sempit di Sidoarjo, Jawa Timur.
Di tengah hidup tanpa kejelasan masa depan ini, pemimpin mereka Tajul Muluk alias Ali Murtadho mengatakan mayoritas penyintas siap dibaiat kembali ke ajaran Suni, sementara luka lama - yang diwarnai dengan pembakaran rumah mereka pada 2012 - menurut Tajul telah ia lupakan.
Kekerasan "berdarah" yang menimpa para pengungsi dimulai sejak tahun 2006, muncul kembali pada 2011 dan memuncak pada 2012 di dua desa yaitu Karang Gayam dan Blu`uran, Kabupaten Sampang, Madura.
Sekelompok massa melakukan pembakaran, kekerasan dan pengusiran terhadap warga Syiah Sampang yang menyebabkan ratusan rumah terbakar, puluhan orang luka-luka dan satu orang meninggal.
Tak ada rincian lebih lanjut mengapa luka lama ini dapat dilupakan, seperti kata Tajul Muluk.
Namun sebagian dari pengungsi itu menyatakan tetap pada keyakinan Syiah dan menyebut langkah itu adalah "pilihan pribadi" dan bahwa apa yang dilakukan Tajul adalah keputusan sepihak.
Perasaan diasingkan yang dialami pengungsi Syiah selama bertahun-tahun ini juga termasuk saat ada di antara mereka yang meninggal. Jenazah mereka "diharamkan" pula untuk dimakamkan di kampung halaman.
Dalam kesehariannya, sebagian besar para pengungsi Syiah di Sidoarjo bekerja sebagai pengupas kulit kelapa dengan upah Rp150 per butir untuk dapat bertahan hidup - menutupi kekurangan bantuan pemerintah sebesar Rp709.000 per bulan per orang.
Demikian sekelumit perjalanan hidup penyintas Sampang yang bertahan dalam `keterasingan` di Rusunawa Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, tanpa ada kepastian kapan dapat pulang.
Padahal, kembali ke kampung halaman adalah mimpi terbesar para penyintas yang kini banyak memasuki usia senja dan berharap dapat menghabiskan hari tua di tempat asal mereka.
Asa para penyintas Syiah untuk pulang kampung muncul setelah pemimpin mereka Tajul Muluk menyatakan mereka siap dibaiat sebagai Suni.
Rencananya pembaiatan berlangsung pada Kamis, 5 November mendatang di Sampang.
Pemerintah Kabupaten Sampang berperan sebagai fasilitator dalam menyelenggarakan pembaiatan tersebut.
Para ulama, tokoh masyarakat, dan warga Sampang, Madura menyambut baik keputusan Tajul Muluk serta akan hadir menyaksikan pembaiatan tersebut.
Namun keputusan kembali ke Suni tidak lantas menyembuhkan luka warga desa dan membuka pintu pulang kampung, di tengah karakteristik warga Madura, khususnya Sampang yang disebut oleh Bupati Sampang sebagai "pendendam".
"Dipenjara" dalam keterasingan
Pada Jumat pertengahan Oktober lalu, suara azan dari Masjid Al Imam, di sebelah Rusunawa Puspa Agro, Sidoarjo, Jawa Timur, berkumandang.
Dari dalam rusun, Tajul Muluk alias Ali Murtadho dan beberapa pengikutnya berjalan menuju masjid untuk kemudian berdiri di baris pertama di belakang imam.
Mereka menunaikan ibadah bersama dengan pekerja pasar, dan para imigran pencari suaka yang bermukim di sebelah rusun mereka.
Setelah ibadah, kami diajak Tajul Muluk berkeliling melihat kehidupan para penyintas yang berjumlah sekitar 350 orang (atau 83 kepala keluarga) di rusun.
Kondisi saat itu terlihat sepi. Beberapa dinding rusun bercat putih dan biru telah terkelupas. Dari awal ditempati hingga kini tidak ada renovasi yang dilakukan, kata Tajul.
Tajul bercerita, hidup di rusun seperti merasa terisolasi dan diasingkan.
Tidak ada komunikasi dan sosialisasi para penyintas dengan warga sekitar karena rusun berada di kawasan pasar induk yang berjarak sekitar satu kilometer dari pemukiman.