Divonis 5 Tahun Terkait Kasus Bakamla, Dirut PT CMIT Ajukan Banding
- ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
VIVA – Direktur Utama PT CMI Teknologi, Rahardjo Pratjihno, menyatakan banding atas putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Penasihat hukum Rahardjo, Saut Edward Rajagukguk, menyatakan pihaknya mengajukan banding karena Komisi Pemberantasan Korupsi telah menzalimi kliennya.
"Demi kemandirian bangsa, kami akan banding,” kata Saut kepada awak media, Jumat, 23 Oktober 2020.
Baca juga: Terpidana Kasus Suap Anggaran Bakamla Dijebloskan ke Lapas Cipinang
Menurut Saut, KPK telah menuding kliennya merugikan negara Rp63 miliar terkait kasus korupsi proyek di Badan Keamanan Laut (Bakamla) dalam pengadaan backbone coastal surveillance system (BCSS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS).
Namun dalam putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, majelis justru menilai perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tersebut tidak tepat.
Berdasarkan hasil perhitungan majelis, kerugian negara yang ditimbulkan dalam proyek BCSS hanya Rp15 miliar.
“Meskipun sesuai perhitungan kami tidak ada kerugian negara, malah negara diuntungkan,” kata Saut.
Dalam amar putusan, pihak BPKP Jakarta sebagai auditor negara, instansi yang ditunjuk KPK ternyata tidak pernah memeriksa PT CMI Teknologi atau terdakwa, apalagi melakukan audit di lokasi.
Lebih jauh Saut mengatakan bahwa saksi ahli dari BPKP, Sapto Agung Riyadi,SE,MSi,Akt,CA,CfrA, di persidangan menyatakan bahwa audit tersebut hanya berdasarkan data yang sudah disajikan oleh KPK.
“Tidak utuh memasukkan perhitungan barang hasil produksi/pabrikasi sendiri serta nilai hak kekayaan intelektual klien saya yang memang mempunyai kompetensi sebagai ilmuwan memproduksi platform (instrumen) lokal, tanpa harus impor. KPK telah menzalimi klien saya," kata Saut.
Selain itu, Saut juga mengungkapkan bahwa BIIS yang merupakan puskodal-nya Bakamla tidak memiliki platform. Sehingga, Bakamla terpaksa harus menyewa dari pihak swasta atau perusahaan lain. Belakangan, Bakamla tidak memperpanjang kontrak sewa BIIS dengan perusahaan tersebut.
Menurut Saut, proyek tersebut menyangkut informasi kerahasiaan negara seperti pengadaan BCSS yang harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012.
Artinya, PT CMI Teknologi sebagai pabrikan swasta nasional di industri militer bekerja sesuai dengan yang diamanatkan dalam UU bahwa proyek ini harus seizin pihak Kementerian Pertahanan.
“Jadi bagaimana bisa PT CMI Teknologi punya niat jadi pemenang kontrak kalau semua harus tunduk pada hukum yang mengaturnya? Kalau tidak mandiri, pengawasan laut kita bisa diterobos terus oleh kapal asing di Zona Ekonomi Eksklusif," ujarnya.
Saut juga menyinggung terkait pemberian komitmen fee Rp3,5 miliar kepada staf khusus Kepala Bakamla Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi. Menurut dia, kliennya tidak pernah memberikan komitmen fee seperti yang didakwa Jaksa Penuntut Umum. Menurut Saut, kliennya hanya meminta bantuan Hardy Stefanus untuk menukar cek menjadi valas untuk keperluan korporasi.
“Kemudian dititipkan kepada Fahmi Habsyi. Fahmi Habsyi meneruskan titipan tersebut ke Raharjo dan sudah diterima kembali serta diakui oleh klien saya di tahun 2016,” imbuhnya.
Diketahui, dalam kasus ini Rahardjo dihukum 5 tahun penjara, denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp15 miliar subsider kurungan selama 3 tahun. (ase)