Logo BBC

Anak-anak Korban Eksekusi Tentara Belanda Tolak Tawaran Ganti Rugi

Sardjono Danardi dan keluarga berpose di depan rumah sakit yang dinamai dengan nama almarhum ayahnya.-SARDJONO DANARDI
Sardjono Danardi dan keluarga berpose di depan rumah sakit yang dinamai dengan nama almarhum ayahnya.-SARDJONO DANARDI
Sumber :
  • bbc

Menurut pengamatannya, selama ini ada kurang-lebih 700 janda dan anak dari korban pembantaian Belanda yang telah berusaha mengajukan gugatan ke pengadilan Belanda namun banyak dari mereka yang ditolak karena tidak memenuhi persyaratan administrasi.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan kepada BBC News Indonesia lewat pesan pendek bahwa pihak pemerintah sedang mempelajari keputusan ini dan belum bisa memberi komentar.

Dibatasi masa kedaluwarsa

Menurut Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Jeffry Pondaag, tidak banyak ahli waris yang akan dapat mengakses skema itu karena ganti rugi ini ternyata juga dibatasi oleh masa kedaluwarsa dua tahun sejak kasus terungkap di pengadilan. Hal itu untuk menjaga supaya tidak terlalu banyak orang yang menuntut.

Itu berarti Abdul Halik, anak dari korban pembantaian Westerling yang diakui pengadilan Den Haag pada 2011 tidak memenuhi syarat sedangkan Sardjono Danarbi punya waktu hingga 2022 untuk ikut serta.

"Jadi orang-orang yang bisa menerima ganti rugi ini, adalah orang-orang yang tidak terlambat menggugat pemerintah Belanda," kata Jeffry, seraya menyebut kompensasi 5000 Euro itu "kacang goreng".

Jeffry juga mengkritik pernyataan anggota Komisi 1 DPR dari fraksi Golkar, Dave Laksono, yang menyebut keputusan Belanda itu sebagai "niat baik". Padahal, kata Jeffry, tidak ada kebaikan sama sekali.

"Itu didorong dari kita, sebagai Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda, didorong oleh pengadilan, didorong oleh kritik-kritik di sini (Belanda)... Kalau benar-benar baik itu sudah dari awal, tahun 2008, waktu kita menuntut kasus Rawagede itu diselesaikan," ujarnya.

Penyelesaian optimal?

Senada dengan Jeffry, sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Profesor Asvi Warman Adam, mengatakan keputusan dua menteri Belanda ini jangan dipandang sebagai langkah ganti rugi Belanda kepada warga Indonesia atas penjajahan di tanah airnya.

Alih-alih, ujarnya, ini merupakan kompensasi yang diberikan kepada warga Belanda korban kekejaman tentara Belanda sendiri, mengingat Belanda baru secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 27 Desember 1949.

"Jadi mereka mengadili tentara Belanda yang melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negara Belanda atau Hindia Belanda pada saat itu. Dan kemudian diberikan ganti rugi kepada pihak korban," kata Prof. Asvi.