Revisi UU Kejaksaan Dipandang Perkuat Sistem Peradilan Modern
- VIVAnews/Maryadi
VIVA – Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanudin, Prof. Dr. HM Said Karim, menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak akan mengambil alih kewenangan penyidikan penegak hukum lain.
Langkah DPR yang merevisi RUU itu justru, kata dia, patut diapresiasi demi terwujudnya sistem peradilan yang modern dan berkeadilan.
Menurut Said, dengan penyidikan lanjutan (Pasal 30) dalam revisi UU Kejaksaan, tidaklah benar jika dikatakan bahwa kewenangan penyidikan akan diambil oleh kejaksaan.
“Semua aparat penegak hukum yang telah memiliki kewenangan melakukan penyidikan tetap saja berhak melakukan penyidikan,” kata Said Karim kepada awak media, Selasa, 20 Oktober 2020.
Baca juga: Gus Nur Dilaporkan karena Hina NU, Pengacara: Siap Hadapi
Diketahui, Revisi UU Kejaksaan saat ini tengah digodok oleh Komisi Hukum DPR RI. Said mengatakan, pengaturan penyidikan lanjutan bukanlah hal baru karena sebelumnya telah ada dan telah dilakukan.
"Cuma istilah saja berubah. Dulu pemeriksaan tambahan kini berubah menjadi penyidikan lanjutan. Dan dulu hanya memeriksa saksi-saksi, kini dalam RUU bisa juga memeriksa tersangka," ujarnya.
Ketentuan hukum yang mengaturnya Pasal 27 ayat 1 huruf d UU Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Jo UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Jo Pasal 110 dan 138 KUHAP.
Dia menerangkan tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) atau integrated criminal justice system (ICJS) yakni suatu cara pemeriksaan perkara pidana secara terpadu, mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, penjatuhan putusan, upaya hukum sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht).
Dikatakan Said Karim, pentingnya SPPT atau ICJS karena merupakan instrumen dalam mewujudkan penegakan hukum pidana materil bila terjadi pelanggaran.
“Tujuan SPPT atau ICJS ini agar terwujud optimalisasi penegakan hukum pidana,” ucapnya.
Said Karim menyebut, lima sub sistem peradilan pidana terpadu, yakni Kepolisian RI (UU No 2 tahun 2002), Kejaksaan RI (UU No 16 tahun 2004), Pengadilan (UU No 48 tahun 2009), Advokat (UU No 18 tahun 2003) dan Lembaga Pemasyarakatan(UU No 12 tahun 1995).
"Kelima sub sistem tersebut harus bekerja secara terpadu dan terintegrasi agar terwujud optimalisasi penegakan hukum pidana,” ujarnya.
Menurut dia, dalam upaya penyempurnaan RUU Kejaksaan, yang kelak akan mengganti UU Nomor 16 tahun 2004, RUU Kejaksaan itu tidak hanya menambah dan melengkapi Kewenangan Kejaksaan, tapi diharapkan RUU tersebut kelak pada saat diundangkan mendapatkan penerimaan yang baik dari masyarakat.
"Juga semakin dapat memperkuat hubungan terpadu dan terintegrasi antara Kejaksaan dan aparat penegak hukum lainnya, sebagai bagian dari sistem peradilan pidana terpadu demi terwujudnya proses penegakan hukum secara optimal," katanya. (ase)