Dilema UU Cipta Kerja, Lahir Saat Minat Baca Rakyat Indonesia Rendah
- VIVA/ Eduward Ambarita.
VIVA – Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law yang baru diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Oktober 2020 menjadi kisah tersendiri bagi seluruh masyarakat di Tanah Air. Sebab, draft UU Sapu Jagat yang mencapai tebal 25 cm itu menjadi perdebatan di masyarakat.
Baca Juga: Jika KAMI Jadi Partai, Jenderal Gatot: Saya yang Pertama Keluar
Bahkan, akibat tebalnya drat tersebut membuat sebagian masyarakat mencari jalan pintas untuk dengan mudah memutuskan bersikap, hingga tanpa harus membacanya sekalipun dan langsung memutuskan menolak ataupun menerima.
Lalu, menjadi wajar jika kemudian baik konten maupun naskah bahkan halamannya pun menjadi perdebatan yang tak putus dalam beberapa waktu terakhir. Sampai kemudian berujung pada aksi unjuk rasa berkepanjangan yang puncaknya menyebabkan kerusakan berbagai fasilitas umum.
UU Cipta Kerja yang sudah dihakimi tersebut bahkan belum dibaca dan dikaji dengan baik isinya. Beberapa di antara ahli hukum menyatakan masih sedang mempelajari dan mengaku perlu waktu untuk mengkaji lebih dalam isi UU tersebut.
Sayangnya sebagian oknum telah turun ke jalan dan sebagian kecil di antaranya melakukan aksi-aksi anarkis yang merugikan dengan mengatasnamakan penolakan terhadap UU tersebut.
Padahal, UU Cipta Kerja yang disebutkan Presiden Joko Widodo diperlukan untuk tiga alasan oleh Indonesia itu (membuka lapangan kerja, mempermudah iklim usaha UMKM, dan menghapus praktik korupsi) hadir di tengah masih rendahnya minat baca masyarakat di Tanah Air.
UNESCO menyebutkan Indonesia berada pada urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Bahkan, dari Data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Riset lain bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, mendaulat Indonesia untuk menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Ironisnya, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab masyarakat di Tanah Air cenderung menerima informasi yang tidak utuh, sepotong-sepotong, bahkan mudah terhasut hoax.
Sementara itu, Menteri ATR/Kepala BPN, Sofyan Djalil mengungkapkan ada sesuai yang hilang dalam sistem pendidikan di Indonesia selama ini. Sebab, pendidikan karakter justru absen di tengah generasi muda di Indonesia sedang berjuang untuk mencari jati diri.
Sedangkan, serangan budaya asing yang demikian gencar, warisan budi pekerti yang luhur tak begitu kuat menjadi fondasi bagi pembentukan karakter mereka.
Bonus demografi yang begitu besar pun justru menjadi ancaman ketika sebuah bangsa sebelumnya tak melakukan investasi untuk melakukan pendidikan karakter kepada generasi mudanya. Sehingga, ketika kembali merujuk pada UU Cipta Kerja maka solusi yang dapat disarankan adalah mengajak lebih banyak masyarakat untuk meningkatkan minat baca.
Dengan demikian, kembalinya minat baca itu dapat bersama-sama mengkaji dan merumuskan pasal-pasal yang merugikan dalam UU Cipta Kerja dan kemudian mengajukan uji materi ke MK jika diperlukan. (ant)