Pakar Dorong Uji Formil UU Ciptaker: Prosesnya Kacau, Bisa Dibatalkan

Gedung Mahkamah Konstitusi
Sumber :
  • ANTARA Foto/Hafidz Mubarak

VIVA – Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menjelaskan Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker penuhi syarat untuk digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Baik melalui pengajuan uji formil maupun uji materiil. 

Respons Polri soal Putusan MK Terkait Hukuman ke Aparat Tak Netral di Pilkada

Bivitri menyampaikan demikian lantaran UU yang disahkan Paripurna DPR pada Senin, 5 Oktober 2020, tak hanya bermasalah secara substansi. Namun, juga bermasalah secara prosedural pembentukannya. 

"Iya sudah cukup alasan ajukan judicial review," kata Bivitri, Jumat, 16 Oktober 2020.

Pakar Hukum Soroti Calon Kepala Daerah Sudah Dua Periode Maju di Pilkada 2024

Bivitri mengatakan, siapa pun bisa mengajukan gugatan UU Ciptaker ke MK sepanjang bisa membuktikan adanya kerugian konstitusional. Menurut dia, siapa pun yang dimaksud ini bisa orang per orang atau organisasi. 

Baca Juga: Politisi PKS Ungkap 3 Langkah untuk Dapat Batalkan UU Cipta Kerja

MK: Pejabat Daerah dan TNI/Polri Tak Netral di Pilkada Bisa Dipidana

Dia pun menjelaskan, jika mengajukan uji materiil, pihak pemohon harus membeberkan dalil baru terhadap pasal yang digugat. Tapi, Bivitri mengaku lebih condong mengajukan uji formil UU Ciptaker. 

Alasan Bivitri karena proses pembentukan UU Ciptaker telah menyalahi aturan terutama mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, jika uji formil dikabulkan MK, masih terbuka kemungkinan membatalkan UU Ciptaker. 

"Dari segi formil saya yang paling semangat karena koreksi penting dari cabang kekuasaan yudikatif terhadap cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif salah satunya di uji formil ini. Kalau prosesnya kacau ya dibatalkan," ujarnya.

Bivitri menambahkan, jika uji formil UU Ciptaker dikabulkan dapat menjadi peringatan bagi pemerintah dan DPR. Peringatan yang dimaksud agar berhati-hati dalam menyusun undang-undang selanjutnya. 

Meski demikian, Bivitri mengakui MK jarang sekali mengabulkan permohonan uji formil. Sebab, dari 44 uji formil yang diajukan ke MK, hanya satu yang dikabulkan, yakni UU Mahkamah Agung. Itu pun MK memutuskan tidak membatalkan UU MA karena asas kemanfaatan.

"Dulu ada satu UU, yakni UU MA yang dinyatakan inkonstitusional, tapi MK bilang dengan menggunakan asas kemanfaatan kalau UU MA dibatalkan secara keseluruhan tidak ada lagi UU yang mengatur MA," ujarnya.

Saat ini, MK masih menangani satu permohonan uji formil, yakni terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, hingga saat ini, MK belum memutus perkara tersebut.

"Kita masih menunggu (putusan uji formil UU KPK). Sidang terakhir lima atau enam minggu lalu," katanya.

Secara formil, pembentukan UU Ciptaker dinilai Bivitri tidak transparan, tidak partisipatif, dan terburu-buru. Padahal, untuk membentuk suatu UU membutuhkan waktu lama dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang terkait. Apalagi, UU Ciptaker yang menggunakan metode Omnibus Law menyangkut 78 UU lainnya.

"Bagi pembuat undang-undang sebenarnya idealnya butuh waktu lama untuk membuat metode Omnibus karena pemangku kepentingannya banyak," ujarnya. 

Selama ini, kata Bivitri, DPR dan pemerintah mengklaim proses penyusunan dan pembahasan UU Ciptaker telah melibatkan serikat buruh. Padahal, kata Bivitri, UU Cipta Kerja tersebut mengubah 78 UU dan berhubungan dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya, seperti nelayan, masyarakat adat, dan lainnya.

"Jadi nelayan, masyarakat adat, bahkan dua hari lalu saya juga bilang notaris juga tidak dilibatkan padahal ada pembentukan PT yang sekarang berubah konsepsinya. Jadi begitu banyak stakeholder-nya jangan dikecilkan menjadi cuma satu yaitu serikat buruh," ujarnya.

Dengan banyaknya pemangku kepentingan yang seharusnya dilibatkan, penyusunan UU Ciptaker seharusnya tidak dilakukan secara terburu-buru. Apalagi di tengah pandemi COVID-19. "Tidak sepatutnya lah dibahas sangat terburu-buru, apalagi di tengah situasi pandemi," tuturnya. (art)

Ilustrasi pilkada serentak 2024

Mahasiswa Minta Pemerintah Tindak Oknum Tak Netral di Pilkada Sesuai Putusan MK

MK memutuskan pejabat daerah serta TNI/Polri dapat dijerat hukuman pidana apabila melakukan cawe-cawe atau melanggar netralitas dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada

img_title
VIVA.co.id
22 November 2024