Perwakilan DPR Minta MK Tolak Uji Materi UU Penetapan Perppu Corona

Misbakhun Memberi Tanggapan di Sidang MK Soal Gugatan Perppu No.1 Tahun 2020
Sumber :
  • Tangkapan Layar

VIVA – Anggota Komisi XI DPR M. Misbakhun mewakili dewan dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), terkait permohonan uji materi atau judicial review Undang Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19. Ia meminta, mahkamah menolak gugatan para penggugat tersebut.

Pakar Hukum Soroti Calon Kepala Daerah Sudah Dua Periode Maju di Pilkada 2024

Politikus Partai Golkar itu mengatakan, UU tersebut tidak menyalahi Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Juga, hal itu sebagai langkah pemerintah dalam melindungi rakyat dari pandemi COVID-19 yang menghantam sektor kesehatan hingga ekonomi.

Dalam penjelasannya di sidang MK pada Kamis 15 Oktober 2020 dengan agenda mendengarkan tanggapan DPR, ia mengatakan para pemohon tersebut tidak memiliki legal standing. Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU sudah melalui proses sesuai ketentuan. 

MK: Pejabat Daerah dan TNI/Polri Tak Netral di Pilkada Bisa Dipidana

“Tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat (causal verband) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional,” ujar Misbakhun yang menyampaikan tanggapannya secara virtual, yang diterima VIVA.

Baca juga: 3 Provinsi Kini Jadi Perhatian Satgas COVID-19

MK: Pilkada Ulang Digelar Paling Lama 1 Tahun Setelah Kotak Kosong Menang

Hingga saat ini, sejumlah pihak yang menggugat UU Nomor 2 Tahun 2020 tersebut antara lain Amien Rais, Din Syamsuddin, Adhie Massardi, Sri Edi Swasono, Abdullah Hehamahua, Irwan Sumule, Damai Hari Lubis, Munarman, Ismail Yusanto, Jumhur Hidayat, Marwan Batubara, MS Kaban, dan sejumlah tokoh lainnya.

Selain itu, ada badan hukum yang ikut menggugat UU Nomor 2 Tahun 2020. Di antaranya ialah Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMM), Yayasan LBH Catur Bhakti, serta Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA). 

“Dampak dari pandemi COVID-19 yaitu faktor produksi tidak jalan sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi COVID-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi COVID-19 belum bisa dipastikan waktunya. Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh COVID-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk,” tuturnya.  

Dijelaskan Misbakhun, yang sangat terdampak akibat pandemi COVID-19 yang masuk ke Tanah Air sejak Maret ini ialah pekerja harian atau pekerja lepas (informal). Mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah dari aktivitas sehari-hari. “Jika tidak keluar maka mereka tidak dapat makan,” katanya.

Selain mereka, sektor lain yang paling terpukul akibat pandemi ini adalah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta kelompok kelas menengah. Maka untuk mengatasi kesulitan dari berbagai sektor di masyarakat itu, negara harus hadir. Dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tersebut, dianggap sebagai bukti kehadiran negara pada persoalan rakyatnya.

“Kehadiran negara sangat dibutuhkan baik oleh jutaan rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas. Sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan,” katanya.

Misbakhun mengatakan, pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi tersebut. Sebab, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan. 

Maka untuk pemulihan tersebut, negara butuh biaya untuk membiayai program-program yang ditentukan dalam situasi pandemi. Satu-satunya cara pemerintah harus berutang jika Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan dana lainnya tidak mencukupi. 

Menurut Misbakhun, utang bukanlah tujuan, tetapi hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini. Sama halnya dengan yang lain, negara lain pun berutang.

“Hal yang utama bukan negara berutang, tetapi utang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata,” ujarnya.

Misbakhun juga menepis soal dalil pemohon tentang pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dijelaskannya, DPD terlibat dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) hanya untuk yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Sementara itu, RUU tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020, lanjut Misbakhun, bukan domain DPD. 

“RUU Penetapan Perppu 1/2020 menjadi UU bukan merupakan usulan DPD, sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk membahas RUU tersebut,” katanya. 

Oleh karena itu, Misbakhun pada bagian petitum meminta MK menolak seluruh permohonan para pemohon.  

“Satu, menyatakan bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Dua, menolak permohonan a quo untuk seluruhnya,” sebutnya.

Misbakhun juga meminta MK menerima keterangan DPR secara keseluruhan. “Menyatakan bahwa proses pembentukan Undang Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 telah sesuai dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya